Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan sejumlah kendala untuk memproduksi alat tes COVID-19 di Indonesia, mulai dari pemenuhan bahan baku dan proses distribusinya.
"Sulitnya mendapatkan bahan baku," kata dia dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (14/7/2020).
Bahkan untuk bahan baku yang sudah diimpor pun kerap tertahan di bandara maupun pelabuhan. Hal itu membuatnya rusak sebelum diproduksi menjadi barang jadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengalaman kami dalam rapid test karena ada bahan baku yang masih harus diimpor, kadang-kadang terlambat atau terhambat atau terlalu lama di bandara atau di pelabuhan, sehingga ketika sampai pabriknya kadang-kadang sudah rusak dan itu terjadi di tahapan awal waktu produksi rapid test," ujarnya.
Masalah lainnya adalah reengineering produk inovasi yang terkadang menghabiskan dana yang besar dan waktu yang lama, serta sulitnya untuk memproduksi secara massal prototipe yang sudah dihasilkan.
"Dan ini kami alami contohnya ketika menghasilkan rapid test, ketika kita bawa ke pada industri ternyata belum banyak perusahaan farmasi alat kesehatan yang siap untuk memproduksi rapid test dalam skala besar," ujarnya.
Isu strategis lainnya, lanjut dia adalah standarisasi material medis yang masih lemah. Ini terjadi baik di BSN sebagai badan sertifikasi nasional, dan juga terjadi ketika dilakukan pengujian untuk alat kesehatan yang relatif baru.
"Ketika misalkan kami melakukan, meminta pengujian untuk ventilator ICU, ternyata ada sedikit hambatan di Kemenkes karena belum terbiasa untuk melakukan pengujian terhadap ventilator yang berbasis di ICU tersebut," tambahnya.
(toy/eds)