Negara-negara yang tergabung dalam kelompok G20 bersepakat untuk memberikan keringanan pembayaran utang luar negeri atau debt service suspension initiative untuk negara miskin yang terdampak pandemi COVID-19.
Apakah Indonesia mendapatkan keringanan ini? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan keringanan tersebut hanya untuk negara berpendapatan rendah atau low income atau negara yang tak sanggup lagi membayar utang luar negeri tersebut.
Menurut dia, berbeda dengan Indonesia. Sri Mulyani menjelaskan, Indonesia adalah negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income. Kemudian rasio utang luar negeri Indonesia juga masih berada di kisaran 36,6% dari produk domestik bruto (PDB) pada periode Mei 2020. Angka ini masih aman sesuai dengan UU Keuangan Negara yang maksimal 60% dari PDB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena adanya COVID-19 banyak negara terutama low income country mengalami lonjakan defisit. Sama seperti Indonesia, tapi beda posisinya dengan Indonesia. Untuk low income country ini mungkin utangnya sudah sangat tinggi dan mereka tidak mampu membiaya lagi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Senin (20/7/2020).
Menurut dia, terkait penangguhan utang luar negeri bertujuan untuk membantu mengurangi beban negara miskin. Dia menyebut pembahasan penangguhan dilakukan dengan negara pemberi pinjaman seperti China, AS, Eropa dan lembaga seperti Bank Dunia sampai IMF.
"Sehingga dibahas mengenai bagaimana membantu negara miskin yang utangnya sudah sangat besar dan tertimpa COVID untuk diberikan penangguhan, atau moratorium terhadap utang mereka," ujar dia.
Dia menambahkan negara miskin itu memiliki beban utang luar negeri yang besar dan diiringi dengan pendapatan negara yang tidak meningkat.
"Ini salah satu concern dunia, karena kita mengharapkan banyak negara bisa mengejar ketertinggalannya. Sehingga mereka bisa menjadi negara yang sejahtera atau middle income atau bahkan high income," tambahnya.
Baca juga: Nasib Gaji 13 di Tangan Sri Mulyani |
(kil/fdl)