PT Jouska Finansial Indonesia (Jouska ID) merupakan salah satu perencana keuangan yang digandrungi generasi milenial Indonesia. Jouska didirikan oleh Aakar Abyasa Fidzuno pada tahun 2013.
Meski terbilang baru jika dibandingkan dengan perencana keuangan lainnya, sebut saja financial consultant Prita Hapsari; Master of Financial Planner Safir Senduk; dan Aidil Akbar Madjid, Jouska sukses jadi pusat perhatian milenial dengan jumlah followers di Instagram-nya (@jouska_ID) mencapai 785.000. Konten-konten Jouska memang kekinian dan menarik bagi kaum milenial.
Namun, ketika kasus investasi 'bodong' terungkap, kini jumlah followers Jouska berkurang, menjadi 745.000.
Melihat fenomena ini, Safir Senduk mengatakan, dirinya sudah sejak lama memperingatkan masyarakat tentang tata cara memilih perencana keuangan yang tepat. Menurutnya, ia sudah mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dengan perencana keuangan yang hanya menciptakan sensasi di dunia maya.
"Saya sudah sering memperingatkan di sosial media, sudah lama sejak 1,5 tahun terakhir. Saya sudah sering mengingatkan jangan datang ke financial planner yang tidak independen, dan jangan datang ke financial planner yang hanya karena sensasinya di sosial media," kata Safir kepada detikcom, Senin (27/7/2020).
Ia mengatakan, dari postur unggahan di sosial media saja calon klien harus bisa mengukur keabsahan layanan perencana keuangan tersebut. Ia pun menyinggung konten Jouska yang pernah menyebutkan biaya untuk persalinan bisa menelan lebih dari Rp 80 juta.
"Sering kali postingan sosial medianya menebarkan ketakutan, misalnya kayak biaya lahiran. Bukan nggak mungkin orang punya biaya lahiran Rp 88 juta, ya mungkin saja itu. Tapi 99% kalau orang punya logika berpikir normal pasti nggak akan mau punya biaya lahiran sebesar itu," tutur Safir.
Ia berpendapat, jika saran yang diberikan sebuah lembaga perencana keuangan justru menimbulkan ketakutan, besar kemungkinan perencana keuangan itu berupaya merujuk pada satu produk.
"Kalau financial planner itu suka menyebarkan ketakutan di sosial media besar kemungkinan dia tidak independen. Karena dia pasti sangat pro pada produk tertentu, dan tidak pro di produk yang lain," imbuh dia.
Ia menegaskan, masyarakat harus berhati-hati dalam memilih perencana keuangan, dan tak hanya fokus pada jumlah followers atau konten sensasional yang dipublikasikan.
Selain itu, ia mengajak masyarakat untuk mencari latar belakang dari sebuah lembaga perencana keuangan jika ingin mendaftarkan diri sebagai kliennya. Ia menegaskan, masyarakat harus memilih perencana keuangan yang independen.
"Kalau tidak independen itu sangat berbahaya. Saran-sarannya itu bias. Berarti account sosial medianya tidak jauh-jauh dari account jualan. Walaupun account sosial media suka memberikan tips, kalau dia sudah tidak independen itu berarti akunnya hanya untuk jualan saja. Sama seperti pemilik toko di Instagram, itu account jualan, bukan tips lagi," tutup Safir.
(eds/eds)