Pengusaha Ungkap Okupansi Hotel di Luar Jawa Masih Tiarap

Pengusaha Ungkap Okupansi Hotel di Luar Jawa Masih Tiarap

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 04 Agu 2020 08:30 WIB
Sejak ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB), perhotelan di Solo ditutup. Namun, mulai 7 Juni 2020, aktivitas mulai menerapkan new normal.
Foto: Agung Mardika
Jakarta -

Terjadi peningkatan arus mudik pada liburan singkat di perataan Idul Adha 1441 Hijriah kemarin. Terutama pemudik yang keluar DKI Jakarta menuju daerah-daerah di Pulau Jawa. Dengan cukup banyaknya masyarakat yang mudik di Lebaran Kurban kemarin, memberikan efek pada tingkat hunian atau okupansi hotel-hotel di daerah.

"Di hotel beberapa memang ada kenaikan sesaat untuk momentum tersebut. Dan kami melihat mudik kali ini juga menjadi pelampiasan dari Lebaran kemarin yang nggak bisa mudik," kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran kepada detikcom, Senin (3/8/2020).

Maulana mengungkapkan, khususnya hotel-hotel di Pulau Jawa tingkat okupansinya naik menjadi 20%. "Kalau kayak kemarin kan hanya 1-2 hari, terjadi lonjakan sampai 20%," ungkapnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara, okupansi hotel-hotel di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masih kecil. Pasalnya, masyarakat yang hanya mudik di wilayah Pulau Jawa masih bisa mudik menggunakan transportasi darat atau kendaraan pribadi dengan mengakses Jalan Tol Trans Jawa.

"Jadi kalau kita hitungan ratanya (okupansi) paling cuma 5-10% itu paling tinggi. Nah kenapa begitu? Karena kita nggak bisa lihat dari moda transportasi darat saja, kita juga harus lihat ke moda transportasi udara," terang dia.

ADVERTISEMENT

Ia mengatakan, tingkat keraguan masyarakat yang masih tinggi untuk kembali bepergian menggunakan pesawat, serta banyaknya proses yang harus dilalui untuk naik pesawat berdampak langsung pada kinerja hotel-hotel di luar Pulau Jawa.

"Nah beda kalau orang ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Paling cepat mereka harus melakukan dengan transportasi udara. Jadi lonjakan okupansi itu tidak merata. Bukan hanya keraguan untuk naik transportasi udara. Tapi kan proses untuk bergerak melalui jalur udara kan panjang. Harus ada rapid test atau PCR. Sementara kalau mereka melalui jalur darat kan mereka tidak diwajibkan apa-apa, mereka tinggal berangkat saja," paparnya.

Apalagi, untuk naik pesawat saat ini tak hanya membutuhkan biaya untuk membeli tiket, tapi juga membayar rapid test atau PCR test yang diwajibkan.

"Rapid test dan PCR ini bukan hanya proses, tapi juga tambahan biaya. Nah kita tahu bahwa domestic traveler itu khususnya leisure, itu mereka melakukan pergerakan secara massal. Jadi mereka pergi itu kalau mudik pasti 1 keluarga. Sedangkan biaya (rapid test) Rp 150.000 itu dikalikan jumlah keluarga yang bepergian kan cukup besar," imbuh dia.

Hal inilah yang membuat masyarakat yang harus mudik ke luar Jawa mempertimbangkan kembali perjalanannya, dan berdampak langsung pada okupansi di hotel-hotel.



Simak Video "Video: BPS Catat Okupansi Hotel Nasional di Februari Turun 2,24 Persen"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads