Fajry menjelaskan, pengenaan PPN 10% yang dibebankan kepada konsumen juga sudah sesuai dengan aturan yang ada. Di mana yang berhak mendapatkan PPN adalah negara yang menjadi konsumen.
"Jadi atas konsumsi jasa digital yang berhak terjadi di Indonesia, negara Indonesia berhak atas PPN-nya," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenai kewajiban pajak penghasilan (PPh) perusahaan-perusahaan tersebut, Fajry menilai perusahaan internasional berbasis digital ini harus memiliki kantor perwakilannya terlebih dahulu di Indonesia atau disebut bentuk usaha tetap (BUT).
"Nah perusahaan digital inikan sebagian tidak memiliki BUT di Indonesia, jadinya Indonesia tidak berhak atas PPh Badannya," jelasnya.
Menurut dia, untuk menarik PPh atas keuntungan perusahaan berbasis digital ini juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya butuh kesepakatan secara multilateral yang diakomodir oleh OECD.
Lebih lanjut dia menilai, pengenaan PPN atas barang dan jasa digital ini seperti perdagangan internasional pada umumnya. Oleh karena itu, pengenaan PPN kepada pelanggan menjadi salah satu upaya yang ditempuh pemerintah.
"Digital ini menjadi concern karena mereka tidak memiliki kehadiran fisik, sehingga konsep BUT menjadi tidak relevan lagi. Tapi kita perlu hati-hati, ini masih wilayah abu-abu karena perusahaan digital yang tidak memiliki BUT tak hanya terkait pajak saja, tapi ada faktor lain," katanya.
"Kalau wilayah abu-abu seperti ini, maka solusinya ada kesepakatan bersama atau konsensus. Inilah mengapa kita mengambil langka multilateral (konsensus bersama) bukan unilateral (sepihak)," tambahnya.
Simak Video "Video: Netflix Spill Bocoran Kisah Cinta di 'Bridgerton' Season 4"
[Gambas:Video 20detik]
(hek/zlf)