Ada Skema Baru Perhitungan Pajak Petani Beromzet Rp 400 Juta/Bulan

Ada Skema Baru Perhitungan Pajak Petani Beromzet Rp 400 Juta/Bulan

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 06 Agu 2020 14:23 WIB
Pekerja menjemur biji kakao di Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (26/6/2020). Sejak terjadinya pandemi COVID-19, harga kakao di tingkat pengepul turun dari Rp35 ribu menjadi Rp26 ribu per kilogram. ANTARA FOTO/Akbar Tado/wsj.
Foto: ANTARA FOTO/AKBAR TADO
Jakarta -

Petani yang menjual produk pertanian tertentu seperti sayur, buah, tanaman hias dan onat, padi, jagung, kopi, kakao, dan sebagainya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 10% dari harga jual. Pengenaan itu diberlakukan hanya kepada petani besar dengan omzet Rp 4,8 miliar per tahun, atau Rp 400 juta/bulan.

Namun, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 89 tahun 2020, pemerintah memberikan opsi atau skema baru pembayaran pajak bagi petani besar tersebut.

Kini, petani bisa memilih dasar pengenaan pajak (DPP) tak hanya dari harga jual, tapi juga nilai lain yaitu 10% dari harga jual, sehingga tarif efektif PPN menjadi 1% dari harga jual (10% dikalikan 10% dari harga jual).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Intinya PPN yang dipungut dan disetor efetkfinya itu adalah 1% dari harga jual. PPN dipungut dan disetor oleh badan usaha industri, sehingga petani akan mudah dalam menyetor PPN. Ini memberikan kemudahan dan kemurahan supaya makin banyak teman-teman di sektor pertanian yang membayar pajak," jelas Kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu dalam diskusi virtual bersama awak media, Kamis (6/8/2020).

Jika memilih menggunakan mekanisme baru itu, maka badan usaha industri yang membeli dari petani ditunjuk sebagai pemungut PPN 1% dan tetap dapat mengkreditkan PPN tersebut sebagai pajak masukan. Pemungutan oleh badan usaha industri ini semakin meningkatkan kemudahan bagi petani dan kelompok petani.

ADVERTISEMENT

Namun, petani juga tetap bisa menggunakan skema normal yakni DPP harga jual dengan tarif PPN 10%. Hanya saja bedanya, jika menggunakan skema normal maka petani harus menyetorkan pajaknya sendiri, sehingga harus memiliki pembukuan.

"Yang pertama bisa menggunakan yang biasa. Jadi DPP harga jual, ini mekanisme normal. Tarif PPN-nya 10%, maka tarif efektifnya 10% tersebut," tutur Febrio.

Jika petani beromzet Rp 4,8 miliar/tahun ingin menggunakan DPP nilai lain ketika membayar pajak, maka harus mengirimkan notifikasi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu terlebih dahulu.

"Petani dapat memilih untuk menggunakan mekanisme nilai lain, atau mekanisme normal. Untuk menggunakannya, petani hanya perlu memberitahukan kepada DJP terkait penggunaan mekanisme nilai lain tersebut pada saat menyampaikan SPT Masa PPN," terang dia.




(dna/dna)

Hide Ads