Bantuan Buat Pegawai Gaji di Bawah Rp 5 Juta Dianggap Tak Adil

Bantuan Buat Pegawai Gaji di Bawah Rp 5 Juta Dianggap Tak Adil

Anisa Indraini - detikFinance
Kamis, 06 Agu 2020 15:40 WIB
Ilustrasi THR
Ilustrasi/Foto: Muhammad Ridho
Jakarta -

Pemerintah sedang mengkaji pemberian bantuan kepada pegawai yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan agar diberikan bantuan Rp 600.000 per bulan. Bantuan ini akan diberikan kepada 13,8 juta pekerja di Indonesia.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan program tersebut berpeluang menimbulkan ketidakadilan sosial. Dia pun mempertanyakan apa dasar pemerintah memilih 13,8 juta pekerja sedangkan ada 52,20 juta pekerja di Indonesia.

"Persoalannya adalah kita tahu yang bekerja sebagai buruh/pekerja/pegawai di Indonesia itu ada 52,20 juta pekerja. Bagaimana memilihnya? Ada ketidakadilan kalau itu diterapkan dan kenapa hanya BPJS Ketenagakerjaan yang dijadikan dasar. Semua merasa berhak kalau itu tekniknya pekerja," kata Tauhid dalam webinar INDEF bertajuk 'Hadapi Resesi, Lindungi Rakyat', Kamis (6/8/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika bantuan tersebut diberikan kepada kelompok terbawah seperti pekerja informal yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK), dinilai akan lebih tepat sasaran. Dibanding pemerintah mengeluarkan program baru, Tauhid menyarankan agar besaran bansos yang sudah ada untuk penduduk terbawah ditambah dengan jumlah Rp 1,5 juta per bulan untuk mendorong daya beli.

"Penghasilan upah buruh saja Rp 2,9 juta per bulan. Jadi kalau yang di bawah Rp 5 juta yang bukan buruh ini dapat dong? Ini akan menimbulkan kesenjangan lagi karena besarannya Rp 31,2 triliun (anggarannya) itu luar biasa. Kalau itu dibagikan bagi kelompok terbawah itu saya kira akan sangat berarti," ucap Tauhid.

ADVERTISEMENT

Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut konsumsi rumah tangga kuartal II-2020 anjlok -5,51%, Tauhid menilai bantuan yang diberikan kepada kalangan menengah atas tidak akan efektif karena mereka cenderung menyimpan uangnya untuk persiapan ke depan.

"Penghasilan Rp 5 juta itu bukan orang miskin dan mereka akan menyimpan uang itu untuk berjaga-jaga dan bukan konsumsi karena pengeluaran mereka umumnya untuk non-makanan baik itu pendidikan, kesehatan, hotel, restoran, yang dalam situasi pandemi ini sangat terbatas. Itu yang menurut saya ketika diberikan pada kelompok Rp 2,9 juta sampai Rp 5 juta akan menjadi masalah dan uang itu akan sia-sia, akan menjadi saving saja. Ini tentu akan sulit mendorong ekonomi jauh lebih tumbuh," imbuhnya.

Tauhid pun mengingatkan pemerintah bahwa masalah utama dari pandemi ini adalah kesehatan, bukan ekonomi. Namun dia menilai program yang ada justru lebih banyak untuk sektor ekonomi.

"Kasus pandemi COVID berpeluang makin tinggi di triwulan III-2020 sehingga kalau ekonomi saya kira sudah banyak usulan-usulan baru. Tapi yang pandemi ini belum ada kecuali hanya mengatasi adanya vaksin di 2021 itu sudah sangat terlambat," ujarnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini. Dia menyebut bahwa pemerintah tidak akan bisa mengatasi resesi jika aspek kesehatannya diabaikan.

"Prioritas untuk kesehatan kecil sekali. Kita belum selesai COVID-nya seperti disuruh lari. Jadi pemerintah jangan bermimpi mengatasi resesi kalau kebijakan pandemi amburadul," katanya.




(eds/eds)

Hide Ads