Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan faktor lain yang menyebabkan Indonesia terkena krisis moneter pada 1998 adalah berasal dari neraca pembayaran.
"Terutama di Asia dengan nilai tukar yang tidak fleksibel, terus direkomendasikan dengan capital flow yang bebas, tidak ada sinkronisasi dari kurs dan capital inflow, dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi dan nilai tukar drastis, 1998 menjadi pembelajaran berharaga. Banyak negara mengubah policy," kata Sri Mulyani di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (31/10/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisis ekonomi pada 1998, kata Sri Mulyani, banyak direspons oleh negara dengan memberlakukan nilai tukar lebih fleksibel serta melakukan monitoring terhadap capital inflow, serta neraca keuangan korporasi, neraca keuangan pemerintah, hingga Bank Sentral.
Baca juga: Resesi Adalah... |
"Dalam surveillance semua neraca dilihat. Semuanya neracanya dilihat sehingga bisa deteksi lebih baik," tambah dia.
Namun sejak BJ Habibie dilantik pada 21 Mei 1998 menggantikan Soeharto, kondisi ekonomi perlahan mulai pulih. Pada akhir 1997 dolar AS secara perlahan mulai merangkak ke Rp 4.000 kemudian lanjut ke Rp 6.000 di awal 1998. Bahkan dolar AS sempat mencapai Rp 13.000, dolar AS sedikit menjinak dan kembali menyentuh Rp 8.000 pada April 1998.
Simak Video "Video: Respons Airlangga soal Rupiah Anjlok Terendah Sejak 1998"
[Gambas:Video 20detik]
(hns/erd)