Banjir besar telah melanda sebagian besar wilayah selatan China pada Juni lalu, tepatnya di tepi Danau Poyang di provinsi Jiangxi. Banjir itu menghancurkan ribuan hektar lahan pertanian yang telah menyumbang 70% produksi beras di China. Akibatnya puluhan petani merugi hingga membuat harga pangan di China terancam naik.
Kementerian Manajemen Darurat China memperkirakan kerugian ekonomi dari bencana itu sebesar US$ 21 miliar setara Rp 309 triliun (kurs Rp 14.700) dihitung dari kehancuran lahan pertanian, jalan, dan properti lainnya. Ada sekitar 55 juta orang mengalami kerugian akibat kehancuran lahan pertanian karena banjir tersebut.
Kementerian Keuangan China mengatakan pemerintah China telah menggelontorkan bantuan senilai US$ 258 juta (Rp 3,8 triliun) yang dialokasikan untuk keluarga terdampak banjir. Selain itu pemerintah daerah di provinsi Jiangxi juga mengalokasikan dana bantuan banjir senilai US$ 40 juta (Rp 589 miliar).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari CNN, Senin (10/8/2020) analis China Shenwan Hongyuan memperkirakan China telah kehilangan 11,2 juta ton makanan dibandingkan tahun lalu. Mengingat berapa banyak lahan pertanian yang rusak.
Menurut Nomura, jika banjir ini dapat diatasi hingga akhir Agustus, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pertanian akan turun hampir 1% pada kuartal Juli-September. Penurunan itu menyeret kerugian hasil pertanian lebih dari US$ 1,7 miliar (Rp 25 triliun).
Hujan deras diperkirakan akan terjadi selama bulan ini dan akan mengarah ke wilayah utara China. Ancaman banjir susulan pun membayangi pertanian gandum dan jagung. Bahkan mengancam naiknya harga pangan di China.
Menurut penyedia data Science China Information harga jagung naik 20% sejak bulan lalu dan menjadi level tertinggi selama lima tahun.
Simak Video "Video: Kepanikan Warga Rongjiang China saat Banjir Besar Melanda"
[Gambas:Video 20detik]