6 Catatan Kritis Kinerja Ekonomi RI 75 Tahun Merdeka

6 Catatan Kritis Kinerja Ekonomi RI 75 Tahun Merdeka

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 17 Agu 2020 18:45 WIB
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi pertumbuhan ekonomi secara kumulatif atau sampai September 2018 sebesar 5,17%.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Indonesia hari ini memperingati hari kemerdekaan yang ke 75 tahun. Sejak merdeka di tahun 1945 pasang surut ekonomi pun terjadi di Indonesia.

Tahun ini hari merdeka harus diperingati di tengah kondisi yang tidak biasa. Pandemi virus Corona belum surutnya menyerang dunia, termasuk Indonesia sejak awal tahun lalu.

Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini memberikan enam catatan terhadap perekonomian Indonesia di usia 75 tahun kemerdekaannya. Berikut ini catatannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Belum Merdeka dari Pandemi

Didik mengatakan di tengah pandemi Corona yang melanda, kebijakan yang diambil pemerintah disebut gagal dalam mengendalikan pandemi. Dia menyebutkan Indonesia saat ini belum merdeka dari pandemi.

ADVERTISEMENT

"Refleksi terhadap kebijakan pemerintah utamanya di tengah pandemi, memperlihatkan bahwa kita belum merdeka dari pandemi, yang menyerang rakyat dan bangsa ini. Refleksi kemerdekaan pada saat ini dengan perenungan lepas dan lebih mendalam menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal mengendalikan pandemic karena kebijakan sejak awal lemah dan tidak menunjukkan niat dan implementasi yang kuat mengatasi COVID-19," kata Didik dikutip dari keterangannya, Minggu (17/8/2020).

Didik menilai selama ini kebijakan yang diambil pemerintah dinilai membingungkan. Alih-alih menekan penyebaran virus, justru Didik menilai kebijakan pemerintah hanya membuat zona merah makin banyak di Indonesia.

"Sejak awal pemerintah memberikan signal kebijakan membingungkan dan kacau sehingga disiplin dan barisan rakyat lengah, terbuka diserang COVID-19, sehingga banyak wilayah masuk zona merah selama berbulan-bulan dan hampir seluruh wilayah Indonesia terjangkit," jelas Didik.

"Kasus penyebaran dan masyarakat yang terjangkit COVID-19 terus meningkat dari waktu ke waktu, sebagai pertanda kegagalan kebijakan mengatasi masalah pokok ini," katanya.

2. Kebijakan yang Tidak Efektif

Didik menilai cara pemerintah menangani virus Corona justru salah langkah. Dia menilai selama ini prioritas pemerintah di lapangan adalah pertimbangan perekonomian saja, padahal penanganan kesehatan adalah yang utama.

Kebijakan pembatasan sosial yang dilakukan juga tidak efektif. Pasalnya, masih banyak yang abai dengan protokol kesehatan, pengawasan pun lemah.

"Indonesia adalah negara yang terbelakang dalam hal kebijakan pandemi ini, terbukti dari hasil kebijakan yang nihil, kasus harian terus meningkat. Justru pemerintah yang menjadi pemicu peningkatan grafik kasus harian tersebut karena mengabaikan kontrol, kebijakan PSBB lemah, anggaran kesehatan tidak memadai, test COVID-19 sejak awal sedikit, prioritas di lapangan lebih pada ekonomi," jelas Didik.

Sementara itu, di negara tetangga yang lain di Asean seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam justru sudah mampu mengendalikan masalah pokok COVID-19 ini. Kebijakan pemerintah dinilai sangat buruk kalau dibandingkan negara-negara tersebut.


3. Pemerintah Abai dengan Kegagalan

Dengan kondisi seperti ini, menurut Didik, pemerintah enggan introspeksi diri. Justru cenderung tak ada perasaan bersalah, dan naif.

"Kebijakan tidak berubah, tetap seperti biasanya sehingga tidak ada tanda-tanda kasus harian covid-19 akan menurun. Dengan kegagalan yang kasat mata dalam kebijakan mengatasi pandemi ini, maka pemerintah selayaknya meminta maaf ke pada rakyat Indonesia," kata Didik.

Didik menilai, pemerintah juga enggan mengakui kegagalan, dan terus menerus berkata kebijakan yang diambil sudah pada jalur yang benar dan kondisinya lebih baik daripada negara lain.

"Pidato kenegaraan presiden tidak memperhatikan aspek kegagalan ini dan masih menganggap kebijakan pemerintah berada pada jalur yang benar, on the right track, sudah dianggap efektif berhasil, lebih hebat pertumbuhannya dibandingkan Singapura, Vietnam dan lainnya," kata Didik.

4. Terlalu Pentingkan Ekonomi

Menurut Didik, pemerintah mengabaikan penanganan kesehatan untuk menekan virus menyebar. Pemerintah menurutnya terlalu mementingkan perekonomian, buktinya adalah dana pemulihan ekonomi yang melebihi dana kesehatan.

"Sumber masalah pokok dari ekonomi tidak bisa dikendalikan karena pemerintah mengabaikan kebijakan kendali pandemi COVID-19 ini. Dengan keyakinan, pandemi akan beres dengan sendirinya, maka kebijakan pemerintah lebih memilih mendorong ekonomi dengan kucuran dana yang jauh melebihi anggaran kesehatan," ungkap Didik.

Didik menilai kebijakan itu bagaikan mengisi ember yang bocor, masalah yang membuat bocor justru diabaikan.

"Strategi kebijakan ini seperti mengisi ember bocor karena masalah dasar kebocorannya tidak diatasi dengan baik. Pilihan kebijakan ini terjadi karena pengaruh bisikan yang tidak bertanggung jawab dengan mengabaikan pilihan kebijakan yang rasional," kata Didik.

5. Terlalu Optimis untuk Proyeksi Tahun Depan

Didik menyatakan pemerintah pun terlalu optimis dalam memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tahun depan. Angka prediksi sebesar pertumbuhan ekonomi 5,5% dinilai Didik tak rasional.

"Pemerintah memprediksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan bahkan bisa mencapai 5,5%. Angka patokan ini diambil dari mimpi yang tidak rasional karena tidak mungkin dicapai dengan kondisi ember bocor seperti sekarang ini," kata Didik.

Dia menyamakan kasus Corona di Indonesia sama seperti Filipina dan belum kunjung surut kasusnya. Dia mengatakan justru kebijakan yang diambil pemerintah memperlihatkan ketidakpastian.

"Kebijakan yang tidak sistematis, serabutan seperti ini memperlihatkan ketidakpastian, kapan kasus COVID-19 di Indonesia akan melandai," ucap Didik.

6. Peranan Pemerintah Pusat Kecil

Didik menilai pemerintah pusat kurang kontribusi dalam penanganan COVID-19. Urusan PSBB saja diberikan kepada Pemda keputusannya.

"Sejak awal pemerintah pusat menyerahkan kebijakan dan implementasi pengendalian COVID-19, PSBB atau pelonggaran PSBB diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya memberi atau tidak memberi persetujuan PSBB kepada pemerintah daerah," ujar Didik.

Padahal, pemerintah daerah mempunyai sumber daya dan dana yang sangat terbatas. Anggaran DAU dan DAK pada umumnya 80-90% habis untuk rutin.

Dana ini, menurut Didik akan berkurang, karena secara sembrono oleh Satgas diakui juga sebagai dana dalam rangka COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

"Peranan pemerintah pusat yang kecil di lapangan adalah sumber kegagalan dalam kebijakan mengatasi pandemi COVID-19 ini," kata Didik.



Simak Video "Pengamat INDEF Prediksi Momen Puncak Badai Ekonomi"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads