Berujung Pelecehan Penumpang, Rapid Test di Bandara Masih Relevan?

Berujung Pelecehan Penumpang, Rapid Test di Bandara Masih Relevan?

Anisa Indraini - detikFinance
Senin, 21 Sep 2020 06:30 WIB
Rapid test
Ilustrasi/Foto: Shutterstock
Jakarta -

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyayangkan kasus pelecehan yang menimpa wanita saat menjalani pemeriksaan rapid test di Bandara Soekarno-Hatta. Korban berinisial LHI itu sebelumnya membuat pengakuan lewat media sosial hingga akhirnya viral.

Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan kejadian itu sangat disesalkan karena terjadi saat pemerintah sedang berupaya memulihkan sektor penerbangan yang terdampak pandemi virus Corona (COVID-19).

"Kemenhub menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut di saat pemerintah bersama stakeholders tengah mengupayakan kebangkitan sektor penerbangan," kata Adita kepada detikcom, Minggu (20/9/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adita minta pelaku yang melecehkan korban segera ditindak tegas oleh pihak berwajib sesuai ketentuan yang berlaku. PT Kimia Farma Diagnostika sendiri selaku penyedia layanan telah menempuh jalur hukum dan menghubungi penumpang yang menjadi korban.

"PT Kimia Farma Diagnostika telah menghubungi korban atas kejadian yang dilakukan oleh oknum tersebut. PT Kimia Farma Diagnostika akan membawa peristiwa ini ke ranah hukum atas tindakan oknum tersebut yang diduga melakukan pemalsuan dokumen hasil uji rapid test, pemerasan, tindakan asusila dan intimidasi," ujar Direktur Utama PT Kimia Farma Diagnostika, Adil Fadilah Bulqini dikutip dari keterangan tertulis.

ADVERTISEMENT

Lalu, dengan ada kejadian ini masih perlukah layanan rapid test di bandara?

Pengamat penerbangan Alvin Lie meminta aturan syarat rapid test untuk bepergian diperbarui jika memang masih diwajibkan. Pasalnya, aturan yang mewajibkan rapid test untuk bepergian dikeluarkan oleh Gugus Tugas yang namanya sudah berubah dan hanya berbentuk Surat Edaran (SE).

"Saya mempertanyakan status hukum atau kekuatan hukum dari surat edaran karena lembaganya sudah bubar, surat edaran itu juga bukan peraturan perundang-undangan, apakah masih tepat syarat rapid test ini berdasarkan SE tersebut? Kalau memang masih dipersyaratkan sebaiknya diperbarui dengan aturan yang lebih jelas, bukan sekadar surat edaran yang bukan produk perundang-undangan," jelasnya.

Selain itu, dia juga mempertanyakan soal keakuratan rapid test yang dinilai kurang efektif untuk mendeteksi virus Corona. Untuk itu, dia meminta agar persyaratan masyarakat bepergian dengan menunjukkan hasil rapid test ditinjau ulang.

"Bahkan Menteri Kesehatan sudah menyatakan rapid test itu tidak bisa digunakan sebagai instrumen deteksi. Mungkin kita perlu meninjau kembali persyaratan untuk menggunakan transportasi udara ini apakah masih perlu syarat surat keterangan hasil uji atau perubahan sistemnya," tuturnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman. Menurutnya, rapid test perlu diganti dengan sistem test saat kedatangan di tempat tujuan dan menggunakan pemeriksaan yang lebih akurat seperti PCR dan swab test.

"Rapid test akurasinya terlalu rendah jadi harus diganti nanti kalau testing on arrival. Teknologi antigen testing sepertinya cukup menjanjikan," katanya saat dihubungi terpisah.




(eds/eds)

Hide Ads