Biar RI Nggak Depresi Ekonomi, Harus Berbuat Apa?

Biar RI Nggak Depresi Ekonomi, Harus Berbuat Apa?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 23 Sep 2020 13:08 WIB
Prekonomian Indonesia dipastikan 99% masuk jurang resesi. Itu artinya pertumbuhan ekonomi nasional bakal minus lagi di kuartal III-2020.
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Resesi ada di depan mata dengan proyeksi Kementerian Keuangan bahwa ekonomi Indonesia akan minus 1% sampai minus 2,9%. Untuk mencegah resesi semakin dalam, bahkan mengarah ke depresi ekonomi, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, kunci utamanya adalah mendongkrak konsumsi, baik di sisi masyarakat maupun pemerintah.

"Begitu juga depresi, karena Indonesia basisnya konsumsi, 58% terhadap PDB. Ya situasi begini kan tidak bisa berharap bahwa ekspor-impor dan investasi normal, ya jalannya konsumsi harus dipertahankan," kata Tauhid kepada detikcom, Rabu (23/9/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi pemerintah, ia menekankan bahwa belanja dari APBN harus direalisasi dengan cepat. Caranya ialah mengeluarkan anggaran untuk proyek infrastruktur yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

"Misalnya infrastruktur itu sekarang bagaimana caranya besar-besarnya di situ. Bukan ketahanan keamanan, bukan kepolisian, dan sebagainya. Tapi justru kita butuh lapangan pekerjaan, yang banyak di sektor infrastruktur yang padat tenaga kerja," jelas Tauhid.

ADVERTISEMENT

Dengan cara itu, menurutnya masyarakat akan punya pendapatan, sehingga bisa meningkatkan daya beli untuk mendongkrak konsumsi. "Itu akan mendorong peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat," tutur dia.

Selain konsumsi, upaya lain yang tak kalah penting adalah kepatuhan melaksanakan protokol kesehatan pencegahan virus Corona (COVID-19). Ia menegaskan, cara ini ialah satu-satunya jalan untuk menekan penyebaran virus yang mengganggu aktivitas ekonomi.

"Nah yang berat adalah di masyarakat melakukan protokol kesehatan. Tidak kumpul, tidak ke tempat yang punya risiko tinggi, termasuk melakukan perjalanan-perjalanan yang berisiko tinggi," papar Tauhid.

Lalu, pemerintah juga harus kuat menertibkan pelaksanaan protokol kesehatan di tingkat masyarakat. Ia juga menyinggung soal PSBB Jakarta yang diumumkan telah diperketat lagi. Namun, menurutnya penerapannya masih tak ada perubahan.

"Ketika PSBB ketat ya harusnya benar-benar ketat, jadi tidak ada pengecualian. Kalau ini kelihatannya tidak ada bedanya, ini yang di lapangan. Di Jakarta ketat, tapi di Bekasi masih ramai. Kendaraan ke Jakarta masih ramai, jadi sama saja," urainya.

Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menegaskan, untuk menghindari kondisi yang lebih buruk pada ekonomi Indonesia ialah mempercepat realisasi anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Sayangnya, per 16 September 2020 realisasinya baru mencapai Rp 254,4 triliun atau 36,6% dari pagu Rp 695,2 triliun.

"Intinya masalah kecepatan eksekusi dari PEN. Skema-skema yang sudah diusulkan itu sebetulnya tinggal dijalankan saja, dipercepat. Kalau dilihat realisasi kan yang paling cepat itu kan Bansos. Sekarang sudah lebih dari 505. Tapi kan yang lain-lain masih sangat terbatas. Jadi itu syaratnya kalau kita mau cepat pulih," tegas Faisal.

Program paling utama yang harus segera direalisasi adalah penanganan masalah kesehatan yang dianggarkan Rp 87,55 triliun, namun realisasinya baru Rp 18,45 triliun.

"Jadi artinya sangat tidak bisa dimengerti kalau kemudian anggarannya masih kecil, penyerapannya masih kecil. Padahal banyak yang masih bisa dilakukan untuk penyerapan itu. Mulai dari rapid test gratis, atau bagi-bagi masker gratis kepada masyarakat untuk menghindari penyebaran yang lebih jauh. Itu saya pikir yang paling ampuh untuk menghindari dampak ke ekonomi," tutup Faisal.


Hide Ads