Periode 1929-1939 adalah masa-masa yang tak pernah terlupakan. Kala itu, depresi hebat atau yang biasa dikenal dengan The Great Depression menyeret ekonomi dunia ke dalam keterpurukan hingga 10 tahun lamanya.
Dilansir History, Jumat (25/9/2020), The Great Depression berawal ketika ekonomi Amerika Serikat (AS) sedang menunjukkan perkembangan yang begitu pesat di tahun 1920-1929, bahkan total kekayaan AS naik dua kali lipat. Masal-masal itu pun dijuluki 'Roaring Twenties'.
Kondisi itu menyebabkan warga AS berbondong-bondong membeli saham di New York Stock Exchange (NYSE) yang berpusat di Wall Street, New York City. Mulai dari jutawan, juru masak, bahkan petugas kebersihan menghabiskan uangnya untuk membeli saham. Akibatnya, Wall Street melambung tinggi, hingga puncaknya pada Agustus 1929.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, hal itu menyebabkan produktivitas menurun, dan akhirnya jumlah pengangguran meningkat. Harga saham pun semakin tinggi dari nilai sebenarnya.
Kala itu besaran upah warga AS sangat rendah, dan akhirnya utang-utang dari masyarakat atau konsumen membengkak. Ditambah lagi kekeringan yang menyebabkan sektor pertanian memburuk, harga-harga pangan pun jatuh. Perbankan juga kena imbasnya dengan jumlah pinjaman yang besar dan tidak dapat dicairkan.
Pada akhirnya, ekonomi AS memasuki resesi ringan selama musim panas tahun 1929. Dampaknya adalah pertumbuhan konsumsi yang melambat, lalu produksi menumpuk, dan pada akhirnya pabrik turut menekan produksinya. Namun, harga-harga saham tak kunjung turun.
Pada 24 Oktober 1929, para investor mulai gugup dan berbondong-bondong menjual sahamnya. Akhirnya, 12,9 juta saham saham diperdagangkan pada hari itu, yang dikenal sebagai 'Black Thursday'.
Lima hari kemudian, pada 29 Oktober atau 'Black Tuesday', sekitar 16 juta saham diperdagangkan setelah gelombang kepanikan melanda Wall Street. Jutaan saham akhirnya menjadi tidak berharga, dan para investor yang telah membeli saham dengan uang pinjaman disapu bersih sepenuhnya.
Setelah jatuhnya pasar saham, kepercayaan konsumen dan investor pun lenyap. Akhirnya, investasi pun anjlok yang menyebabkan pabrik dan bisnis lain memperlambat produksi dan mulai memecat para pegawai. Sementara, masyarakat yang tetap memiliki pekerjaan mengalami penurunan upah yang drastis, hingga daya beli pun ikut tergerus.
Banyak warga AS yang dipaksa berbelanja secara kredit dan akhirnya terjerat utang. Jumlah penyitaan dan pengembalian barang pun meningkat. Titik terendah The Great Depression terjadi di tahun 1933, di mana sekitar 15 juta warga AS menganggur dan hampir separuh bank di negara itu bangkrut.
Kondisi itu tak hanya terjadi di AS. Negara-negara yang patuh terhadap Gold Standard atau acuan harga emas yang ditetapkan di AS, dan juga berpatokan pada kurs dolar juga terseret dalam kesengsaraan ekonomi. Depresi hebat itu pun ikut melanda seluruh dunia, terutama Eropa.
(ara/ara)