Debat DPR vs Pemerintah soal Aturan Batas Waktu Pekerja Kontrak

Debat DPR vs Pemerintah soal Aturan Batas Waktu Pekerja Kontrak

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 28 Sep 2020 21:45 WIB
Sekelompok buruh dan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta. Aksi itu digelar untuk menolak omnibus law RUU Cipta Kerja.
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta -

Dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, pemerintah mengusulkan penghapusan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja kontrak.

Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi mengatakan saat ini ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa dipaksakan untuk bisa menjadi pekerja tetap.

Namun, kata Elen harus ada kompensasi yakni berupa penambahan dharma waktu. Menurut Elen, kompensasi dengan dharma waktu ini laiknya pesangon seperti yang didapatkan oleh pekerja tetap.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harus ada kompensasi, ini yang kami sampaikan ada penambahan dharma waktu, berikan kompensasi selama dengan masa kerjanya. Kalau dia tetap ada pesangon, kerja tertentu ini kayak pesangon," ujar Elen dalam rapat yang dilakukan hari Sabtu, dikutip detikcom dari laman Facebook Baleg DPR, Senin (28/9/2020).

Maka dari itu, menurutnya pemerintah ingin di dalam RUU Cipta Kerja nantinya tidak perlu diatur lagi durasi maksimal para buruh bekerja sebagai PKWT. Yang terpenting adalah aspek job security atau keamanan bekerja dari para buruh.

ADVERTISEMENT

"Tidak usah diatur berapa lamanya dia PKWT-nya. Tapi yang kita atur adalah aspek security dari jaminan. Maka dari itu, kami tidak lagi berbasis pada jumlah tahun PKWT-nya. Kami ingin tambahkan, setiap ada yang selesai PKWT, maka pelaku usaha wajib memberikan kompensasi masa kerjanya," ujar Elen.

Anggota Baleg John Kennedy menyampaikan dirinya tidak sependapat jika Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 dihapus. Menurutnya, tanpa adanya pasal ini maka tidak ada perlindungan pada PKWT, nantinya akan menjadi perjanjian pengusaha dan pekerja.

"Menurut hemat saya lebih kuat pengusaha dan pekerja tidak benar juga kalau tidak ada ketentuan yang atur PKWT. Bahwa total pekerja ada 132 juta orang dari 132 juta pekerja formal 30 juta dan pekerja informal 100 juta. Total pekerja di bawah serikat buruh ada 33,2 juta kita berada di semua, kita melindungi semua," kata John.

Anggota Baleg lainnya, Obon Tabroni malah meminta persoalan PKWT untuk ditunda dibahas. Menurutnya, PKWT harus tetap ada demi melindungi pekerja. Pasalnya, dengan batas maksimal kontrak 2 tahun, pekerja akan jadi karyawan tetap dan pelaku usaha tidak akan mudah melakukan PHK.

"Perbedaannya tidak hanya pesangon kerja, tentu tidak hanya sesederhana itu. Pekerja tetap, job security, keamanan kerja ikut ter-protect. Pekerja kontrak, katakan 2 tahun selesai, tapi ketika menjadi pekerja tetap, tidak mudah bagi pengusaha melakukan PHK," ujar Obon.

Sementara itu, dalam daftar inventarisasi masalah (DIM), Fraksi PDIP juga memandang, pengaturan jangka waktu yang diajukan oleh pemerintah telah mendegradasi Pasal 59 UU yang ada dan bertujuan untuk mewajarkan praktek PKWT seumur hidup.

"Penambahan ayat (3) dan ayat (4) di RUU Cipta Kerja dihapus karena penggunaan frasa 'kesepakatan' melemahkan hak-hak buruh/pekerja dalam hal perlindungan upah dan kepastian kerja," seperti dikutip dalam DIM soal PWKT.




(eds/eds)

Hide Ads