"Dan dibandingkan negara lain, struktur tarif bea meterai kita relatif lebih sederhana dan ringan. Kalau dibandingkan dengan Korsel itu tarifnya antara KRW 100-350.000. Itu kalau dirupiahkan sekitar Rp 130.000 sampai Rp 4,5 juta," kata Yustinus dalam briefing virtual Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Rabu (30/9/2020).
Ia melanjutkan, jika melihat persentase nominal transaksi terkecil dalam dokumen bermeterai dengan tarif meterai, jika dibandingkan dengan Singapura hingga Australia juga Indonesia lebih rendah.
"Kalau dibandingkan dengan nilai transaksi nominal terendah Rp 5.000 itu berarti 0,2%. Ini masih lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Singapura yang memberlakukan stamp duties, itu dari rentang 1-2%. Kalau negara lain juga menggunakan persentase rata-rata. Misalnya Australia 5,75% dan lain-lain," jelas Yustinus.
Selain itu, menurutnya sudah sewajarnya tarif meterai naik, setelah 20 tahun atau tepatnya sejak tahun 2000 bertahan di posisi Rp 3.000 dan Rp 6.000. Pasalnya, dibandingkan 20 tahun lalu pun produk domestik bruto Indonesia sudah meningkat drastis.
"Konteks penyesuaian UU bea meterai memang karena sudah sangat lama tidak diperbaharui, dari tahun 2000 sudah 20 tahun. Kalau kita bandingkan PDB per kapita Indonesia sudah naik 2 kali lipat dibanding tahun 2000. Artinya ada perubahan signifikan pada perekonomian," tegasnya.
Dalam mengawal kenaikan tarif bea meterai ini, Yustinus meminta agar publik tak hanya mengukur dari potensi penerimaan pajak negara. Namun, lebih kepada pemerataan kepatuhan dokumen.
"Banyak transaksi yang belum ter-capture dalam perkembangan teknologi. Ini untuk menghindari ketimpangan, atau justru tidak adanya equal treatment bagi dokumen fisik yang selama ini patuh bea meterai, yang dokumen elektronik. Ini menjadi seolah-olah tidak dikenakan bea meterai," tuturnya.
"Diharapkan dengan penyesuaian ini penekanan bukan pada optimalisasi penerimaan. Karena kalau penerimaan pajak dari bea meterai tentu tidak besar porsinya. Tapi lebih kepada perbaikan administrasi, efektivitas pengawasan, dan juga penciptaan equal treatment," sambung Yustinus.
(dna/dna)