Nasib Ngenes Pengusaha Batik di Tengah Hantaman Corona

Nasib Ngenes Pengusaha Batik di Tengah Hantaman Corona

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 02 Okt 2020 08:00 WIB
Suasana di Pasar Batik Setono, Kota Pekalongan tampak lesu. Sentra batik yang biasanya ramai di masa-masa jelang lebaran itu kini tampak lengang dari pembeli.
Foto: Robby Bernardi
Jakarta -

Tepat hari ini, Indonesia merayakan hari batik nasional. Namun, nasib ngenes justru menimpa para pengusaha dan perajin batik di tengah hari spesial tahun ini.

Pandemi Corona dinilai jadi biang keroknya. Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya mengatakan di tengah kondisi pandemi, minat masyarakat membeli batik berkurang. Alhasil, banyak produk yang tidak laku dan usaha pun tak bisa berjalan.

Komarudin mengungkapkan, saat ini para pengusaha kecil batik mengalami gelombang gulung tikar. Dia menyebutkan pihaknya mencatat sudah ada 50% pengusaha kecil batik yang gulung tikar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat sekarang sih boleh dikatakan kita lagi sulit, 50% pengusaha pembuat batik yang modalnya UMKM di bawah Rp 200 jutaan berhenti produksi semuanya, bisa dibilang gulung tikar. Karena mereka ini udah nggak tahan berapa bulan ini produk nggak bisa terjual ya, jadi nggak bisa memutar modal," kata Komarudin kepada detikcom, Kamis (1/10/2020).

Bila dihitung secara kasar, setidaknya menurut Komarudin ada 40 ribuan pengusaha batik kecil, sekitar 20 ribu di antaranya sudah gulung tikar.

ADVERTISEMENT

"Dalam hitungan kita itu ada sekitar 30-40 ribuan, kalau 50% tutup ya sekitar 20 ribuan barangkali yang gulung tikar. UMKM batik yang di Cirebon aja ada 200-300 udah tutup, udah nggak kuat," ungkap Komarudin.

Para perajin yang dipekerjakan pun terpaksa harus diputus kerja. Setidaknya dia mencatat dari 140 ribu perajin batik, sudah ada 70 ribu yang diputus kerja.

"Industri batik itu ada 140 ribu perajin, misalnya hitungan 50%-nya itu 70 ribu terpaksa diputus, mereka beralih profesi," kata Komarudin.

"Saya aja nih di usaha saya sendiri batik Komar di Cirebon. Perajinnya dari sebanyak 250 orang, sekarang cuma 100-an orang sisanya," sambungnya.

Lalu bagaimana strategi Komarudin dan kawan-kawannya bisa bertahan di tengah pandemi? klik halaman berikutnya>>>

Bagi pengusaha yang masih bertahan, mereka memutar otak mencari strategi agar usahanya tetap hidup.

Salah satunya adalah mengalihkan produksi ke beberapa barang yang laku di tengah pandemi. Komarudin mengatakan, kini pengusaha batik mulai memproduksi masker hingga daster.

"Sekarang ya biar bertahan kita produk batiknya jadi masker, lumayan lah banyak yang beli juga. Lalu, kawan-kawan di Pekalongan itu banyak juga bikin daster, ini produk daster tinggi banget penjualannya," ungkap Komarudin.

Bahkan, Komarudin mengatakan penjualan daster batik meningkat 50%. Kebanyakan daster ditawarkan dengan harga di bawah Rp 100 ribuan.

"Daster penjualannya meningkat di atas 50%, dari normal misalnya menjual 100, ini bisa 150 per minggu. Mereka jual di kisaran di bawah seratus ribu, yang bagus Rp 200 ribuan," urai Komarudin.

Pihaknya juga saat ini sedang mendorong para pengusaha batik menjual produknya secara digital. Pihak APPBI pun sedang membentuk sebuah marketplace khusus menjual batik, bernama Wastra.id.

"Kita lagi kumpulin tenant-nya dulu, kan ini mesti diberikan pembekalan juga kawan-kawan pengusaha buat jualan online," ungkap Komarudin.


Hide Ads