Jumlah bruto piutang negara dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019 tercatat sebesar Rp 358,5 triliun. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku ada beberapa hambatan dalam menagih piutang tersebut.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan hambatan yang sering terjadi adalah sulit dilacaknya keberadaan debitur. Sehingga proses penagihan tidak bisa dilakukan sampai tuntas, kejadian ini sering menimpa debitur yang memiliki piutang dalam jumlah kecil.
"Contoh yang paling banyak adalah di masa lalu pasien rumah sakit yang piutangnya ada yang Rp 250 ribu, ada yang Rp 500 ribu, dengan ukuran uang sekarang mungkin tidak banyak tapi di masa itu mungkin besar sehingga mereka tidak mampu bayar sekarang. Yang besar banget ada juga, itu ada 1-2 yang kita tidak bisa menemukan keberaadaannya dimana sekarang," kata Isa saat bincang bareng virtual bertajuk 'Optimalisasi Pengurusan Piutang Negara', Jumat (2/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu pihaknya memutuskan batasan piutang maksimal Rp 8 juta tidak dilakukan pemeriksaan, melainkan langsung dihapus bersyarat dari piutang negara. Pasalnya, ongkos untuk pemeriksaan hingga bisa menemukan keberadaannya dinilai tidak sebanding dengan piutangnya.
"Kalau yang kecil-kecil banget, batasnya Rp 8 juta itu biasanya tidak dilakukan pemeriksaan, kita bisa langsung menyarankan penghapusan bersyarat. Kenapa? Kalau Rp 8 juta ongkos untuk memeriksanya, mendatangi rumahnya bisa lebih besar itu daripada piutangnya sendiri. Kalau pun bisa ditagih itu tidak sepadan," ucapnya.
Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain, Lukman Effendi menjelaskan penghapusan bersyarat ini bisa diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) kepada Kemenkeu. Namun dalam penghapusan bersyarat ini debitur masih wajib membayar piutang tersebut di kurun waktu tertentu, jika belum diputuskan untuk penghapusan mutlak.
"Sepanjang dia belum dihapuskan secara mutlak, pengembalian itu masih bisa dimungkinkan. Antara itu masih tetap diupayakan untuk bisa melakukan," tuturnya.
Sebelumnya DJKN Kemenkeu mencatat jumlah bruto piutang negara sebesar Rp 358,5 triliun. Utang itu terdiri dari piutang lancar atau yang diharapkan akan dibayar dalam waktu kurang dari 12 bulan sebesar Rp 297,9 triliun. Lalu piutang jangka panjang atau yang dijadwalkan baru diterima dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan sebesar Rp 60,6 triliun.
Namun dari total piutang Rp 358,5 triliun, ada penyisihan piutang tak tertagih sebesar Rp 191 triliun yang terdiri dari piutang lancar Rp 187,3 triliun dan piutang jangka panjang Rp 3,7 triliun. Penyisihan piutang tak tertagih ini berarti nilai yang harus dikurangi karena kemungkinan tidak akan tertagih dalam waktu dekat.
Jika dikurangi penyisihan piutang tidak tertagih, maka total piutang negara dari jumlah bersih sebesar Rp 167,5 triliun. Terdiri dari jumlah bersih piutang lancar sebesar Rp 110,6 triliun dan jumlah bersih piutang jangka panjang sebesar Rp 56,9 triliun.
(dna/dna)