Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah melemah dalam beberapa hari ini. Mengutip Reuters, pada hari ini dolar AS ditekuk rupiah yang menguat ke level Rp 14.720 atau menguat 70 poin (0,47%).
Penguatan rupiah tersebut sejalan dengan disahkannya Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. Lalu, seberapa besar pengaruh UU Omnibus Law Cipta Kerja ini terhadap rupiah?
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menjelaskan, penguatan rupiah yang terjadi dalam beberapa hari ini karena adanya pengaruh dari eksternal. Pertama, berita Presiden AS Donald Trump yang keluar dari rumah sakit karena positif COVID-19. Kedua, kabar mengenai stimulus tunjangan pengangguran US$ 2,2 triliun. Ketiga, soal rencana pertemuan antara Inggris dan Uni Eropa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sisi lain obat penahan rasa sakit COVID-19 akan dipasarkan oleh dua perusahaan pelat merah ini yang menambah rupiah menguat hari Senin dan Selasa," jelasnya kepada detikcom, Rabu (7/10/2020).
Di dalam negeri, Omnibus Law justru menjadi penekan rupiah. Sebab, UU ini mendapat penolakan dari buruh yang menyebabkan aksi demonstrasi di mana-mana.
"Tapi di hari Selasa bersamaan DPR mengesahkan undang-undang tentang tenaga kerja terjadi demo sehingga penguatannya terkikis dari 177 poin menjadi 65 poin hampir 50% terkikis," katanya.
Lebih lanjut, kondisi global pada Selasa malam berubah karena pemerintah AS menarik diri dari pembahasan stimulus. Presiden Trump menyatakan, stimulus ini akan dibahas setelah pemilihan presiden.
Dia bilang, saat ini pasar tengah menaruh perhatian soal kelangsungan stimulus tunjangan ini. Jika tidak ada kepastian, maka rupiah akan kembali mengalami pelemahan pada pekan ini.
"Pelemahan berapa? Kemungkinan kembali ke Rp 14.800 karena saat ini sudah menyentuh Rp 14.750 kalau tidak salah," ujarnya.
Senada, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, penguatan rupiah yang terjadi kemarin karena didorong oleh sentimen Donald Trump yang keluar dari rumah sakit. Hal tersebut membuat risiko global menurun dan mengerek rupiah. Kemudian, penguatan rupiah didorong oleh UU Omnibus Law.
Namun, Hans menilai Omnibus Law hanya memberi dampak jangka pendek terhadap rupiah karena pasar tengah menunggu realisasi dari aturan tersebut.
"Masalahnya pertama ada penolakan, kedua tentu harus melihat realisasi undang-undang ini," katanya.
(acd/zlf)