Dengan cepat Tim Widjojo melakukan deregulasi dengan tujuan untuk menghancurkan hambatan bagi pasar bebas. Aturan-aturan yang berlawanan dengan gagasan itu pun dipreteli, peran birokrat dalam ekonomi juga dikurangi.
Deregulasi dimulai dari perbankan, perpajakan, reformasi bea dan cukai, perdagangan, investasi, dan berakhir di pasar modal. Memasuki 10 tahun deregulasi, ekonomi Indonesia berubah drastis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perekonomian Indonesia pun memperoleh sumber-sumber pendapatan baru. Pertumbuhan ekonomi meningkat drastis. Berbagai bank swasta menjalar di Indonesia. Lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Orba, nilai ekspor non-migas lebih tinggi dari migas. Investasi asing mengalir deras. Investor berebut membeli saham di bursa yang tengah bersinar terang.
Memasuki tahun era 1990-an, dampak deregulasi mulai terlihat di kalangan buruh. Pertumbuhan ekonomi tak diiringi dengan kesejahteraan buruh. Pasalnya, kekuatan sektor industri dan perdagangan diperoleh dari rendahnya beban perusahaan atas upah. Kala itu, buruh menderita akibat upah yang rendah.
"Tak bisa dipungkiri kenyataan bahwa buruh murah merupakan keunggulan berbanding (comparative advantage) mata dagang Indonesia di pasar dunia," ungkap Prisma, No. 4 April 1994 seperti yang dilansir dari Historia.
Dalam buku Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992 karya Rizal Mallarangeng, masyarakat mulai menyuarakan protes pada deregulasi.
"Mereka yakin bahwa kekuasaan kerajaan-kerajaan bisnis yang bertambah besar hanya dapat terjadi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat pada umumnya dan perusahaan-perusahaan kecil pada khususnya," tulis Rizal.
Akhirnya, aksi demonstrasi marak. Buruh pun menyerukan keadilan dan kesejahteraan, serta perbaikan lingkungan kerja. Tapi, kekuatan pemerintahan kala itu memukul mundur para buruh. Korban pun berjatuhan, salah satunya martir bernama Marsinah.
Sampai di tahun 1998, perekonomian Indonesia memasuki krisis. Deregulasi itu pun tak mampu menyelamatkan Tanah Air dari keterpurukan ekonomi.
(upl/upl)