Pemerintah dan DPR RI baru saja mengesahkan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Upaya deregulasi berbagai aturan yang dirangkum dalam 1 UU itu ternyata bukan hal baru, tapi juga pernah dilakukan di zaman Orde Baru (Orba), yakni di pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto.
Pemerintahan Soeharto memulai deregulasi di tahun 1983. Berbagai aturan baru melalui kebijakan paket ekonomi dikeluarkan melalui deregulasi itu. Tujuannya tak jauh berbeda dengan Omnibus Law Cipta Kerja, yakni menarik investasi ke Tanah Air.
Adapun kebijakan yang diberikan mulai perizinan berusaha bagi perbankan, menghapuskan larangan impor beberapa komoditas, menghapus sejumlah hambatan tarif dan non tarif dalam perdagangan internasional, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan 'Omnibus Law' era Soeharto itu dikeluarkan secara bertahap, mulai 1983-1992.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari buku Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 karya Rizal Mallarangeng, Jumat (16/10/2020), di akhir periode 1980-an, kebijakan deregulasi menghasilkan pertumbuhan ekspor nonmigas yang sangat pesat. Untuk pertama kalinya di zaman Orba tepatnya di tahun 1987, ekspor nonmigas melampaui ekspor migas. Bahkan, di tahun 1989 melampaui hingga 50% Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meroket.
Kondisi itu melahirkan banyak pelaku usaha baru, terutama para pelaku menengah yang kepentingan dan berbagai sumber keuntungannya berhubungan langsung dengan pasar internasional, bukan dengan koneksi birokrasi dan politik.
Di kala itu juga, muncul lobi-lobi pro ekspor, kelompok bisnis yang perhatiannya lebih tertuju pada daya saing internasional, ketimbang lisensi birokratis. Kelompok ini adalah pendukung solid perekonomian terbuka. Tetapi, karena kelompok ini didominasi keturunan Indonesia-Tionghoa, kekuatannya masih terbatas.
Dampak deregulasi terhadap lembaga-lembaga keuangan non bank juga luar biasa. Jumlah perusahaan yang terdaftar secara resmi di Bursa Efek Jakarta (BEJ) naik 400%. Pada periode yang sama, nilai transaksi perdagangan BEJ melonjak hingga 490% di 1988, dan 3.052% di 1989.
Pesatnya pertumbuhan BEJ semakin mempererat hubungan ekonomi Indonesia dengan dunia. Dominasi pemerintah terhadap perekonomian pun semakin memudar, dan perekonomian lebih mengacu pada perkembangan pasar.
Memasuki era 1990-an, deregulasi dirasa melahirkan monster baru. Deregulasi dinilai memperkuat para konglomerat yang sebagian keturunan Tionghoa. Hal itu kemudian mempersempit peluang bagi usaha kecil untuk berkembang.
Pada akhirnya, timbul kesenjangan ekonomi, antara si kaya dan mayoritas penduduk yang miskin tak dapat ditolerir.
Baca juga: Deregulasi, 'Omnibus Law' di Zaman Orba |
Dilansir dari Historia, pertumbuhan ekonomi di era 1990-an tak diiringi dengan kesejahteraan buruh. Pasalnya, kekuatan sektor industri dan perdagangan diperoleh dari rendahnya beban perusahaan atas upah. Kala itu, buruh menderita akibat upah yang rendah.
"Tak bisa dipungkiri kenyataan bahwa buruh murah merupakan keunggulan berbanding (comparative advantage) mata dagang Indonesia di pasar dunia," ungkap Prisma, No. 4 April 1994 seperti yang dilansir dari Historia.
Akhirnya, aksi demonstrasi marak. Buruh pun menyerukan keadilan dan kesejahteraan, serta perbaikan lingkungan kerja. Tapi, kekuatan pemerintahan kala itu memukul mundur para buruh. Korban pun berjatuhan, salah satunya martir bernama Marsinah.
Sampai di tahun 1998, perekonomian Indonesia memasuki krisis. Deregulasi itu pun tak mampu menyelamatkan Tanah Air dari keterpurukan ekonomi.
(dna/dna)