PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menjadi pekerjaan rumah (PR) Kementerian BUMN. Sebab ada sejumlah hal yang membuat performa maskapai pelat merah itu tidak optimal.
Kementerian BUMN mengungkap penyakit masa lalu yang menggerogoti tubuh Garuda. Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyebut penyakit yang dimaksud adalah mahalnya mesin-mesin pesawat yang digunakan maskapai pelat merah tersebut.
"Garuda kita tahu punya penyakit masa lalu yaitu mahalnya mesin-mesin pesawat di masa lalu," kata dia dalam Capital Market Summit & Expo 2020 yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (20/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, pandemi COVID-19 ini dijelaskannya menjadi momentum untuk Kementerian BUMN melakukan renegosiasi kontrak yang pernah dilakukan Garuda Indonesia, serta renegosiasi untuk mengatasi beban keuangan perusahaan. Dia menerangkan bahwa Garuda sedang melakukan restrukturisasi keuangan secara fundamental.
"Kita ambil kesempatan COVID ini untuk merestrukturisasi Garuda secara menyeluruh," sebutnya.
Baca juga: Garuda Dapat Pinjaman Rp 1 T |
Garuda, lanjut Kartika juga melakukan relokasi rute-rute penerbangan. Berkaitan dengan itu, dia menjelaskan COVID-19 selain menjadi tantangan juga memberi peluang. Yang terdampak harus diperbaiki, namun peluang-peluang baru juga harus dibuka untuk perbaikan.
"Sehingga diharapkan pasca-COVID nanti garuda lebih sehat dibandingkan Garuda pre-COVID," tambahnya.
Garuda pada kesempatan lain mengungkapkan upaya pembenahan perusahaan. Baca di halaman selanjutnya.
Maskapai pelat merah itu melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kinerja. Langkah yang ditempuh salah satunya dengan mengurangi penggunaan pesawat seperti Bombardier dan ATR.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, hal itu dikarenakan pesawat itu dianggap tidak cocok dengan Garuda.
"Dua-duanya (dikurangi) yang nggak terlalu cocok buat Garuda, Bombardier CRJ itu sama ATR," katanya di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Dia menjelaskan, pesawat itu biasanya digunakan untuk penerbangan bolak-balik. Menurutnya tidak cocok dengan karakter orang Indonesia.
"Jadi gini kaya Bombardier itu kan kaya pesawat commuting, commuting itu artinya orang terbang dengan itu kalau bolak-balik. Pesawat itu bagus kalau 3 jam-an terbang sementara di Indonesia orang commuting cuma ke Bandung di luar itu orang nginep nggak commute," paparnya.
Tak hanya itu, dia bilang, orang Indonesia biasanya pergi dengan membawa muatan, sehingga diperlukan pesawat dengan ukuran lebih besar. Untuk memperbaiki kinerja perusahaan, pihaknya juga melakukan restrukturisasi jangka waktu sewa pesawat.
"Kami juga melakukan restrukturisasi sewa pesawat dengan cara salah satunya memperpanjang jangka waktu penggunaan pesawat tersebut dan kemudian bisa berharap menurunkan sewa pesawat," ujarnya.
(toy/ara)