Mengintip Kekuatan Ekonomi Turki dan Prancis yang Lagi Memanas

Mengintip Kekuatan Ekonomi Turki dan Prancis yang Lagi Memanas

Danang Sugianto - detikFinance
Kamis, 29 Okt 2020 06:59 WIB
Erdogan, Macron dan kontroversi kartun Nabi Muhammad: Turki serukan boikot produk Prancis
Foto: BBC World
Jakarta -

Buntut dari pembunuhan seorang guru di Prancis karena karikatur Nabi Muhammad SAW menimbulkan gesekan baru dengan Turki. Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyatakan perang terhadap separatisme Islam membuat Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan geram dan meminta warga Turki memboikot barang Prancis.

Sebenarnya seruan boikot produk asal Prancis bukan hanya di Turki tapi juga bergema di beberapa negara mayoritas muslim. Namun Turki seakan menabuh genderang perang terhadap Prancis.

Jika ketegangan ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin kedua negara ini terlibat perselisihan di bidang ekonomi. Jika itu terjadi siapa yang bakal menang?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip data Bank Dunia, jika dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), Prancis lebih besar. PDB pada 2019 tercatat sebesar US$ 2,7 triliun. Sedangkan PDB Turki di tahun yang sama US$ 754,4 miliar.

Namun Turki memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak. Di 2019 populasi Turki mencapai 83,42 juta sedangkan Prancis 67,05 juta.

ADVERTISEMENT

Dari sisi pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) per kapita, Prancis juga jauh lebih tinggi. Pada 2019 GNI per kapita Prancis mencapai US$ 42.400, sedangkan Turki US$ 9.610.

Jika dilihat dari data itu, menurut klasifikasi Bank Dunia, Prancis masuk dalam negara kelompok pendapatan tinggi sedangkan Turki masih dalam kelompok negara pendapatan menengah.

Erdogan telah meminta Turki untuk berhenti membeli barang asal Prancis sebagai bentuk protes pernyataan Macron.

Mengutip dw.com seruan boikot ini disebut akan membuat gonjang-ganjing hubungan kedua negara. Hal ini karena Turki dan Prancis merupakan mitra dagang utama dengan total volume perdagangan sekitar US$ 16,6 miliar per tahun. Memang Prancis menyebut tidak akan membalas aksi boikot ini.

Sebelum boikot produk Prancis ini, Erdogan juga pernah memboikot barang elektronik asal Amerika Serikat (AS). Banyak analis menyebut jika langkah ini akan menjadi sia-sia dan menimbulkan dampak negatif untuk pekerja lokal.

Mobil asal Prancis merupakan salah satu otomotif yang paling laku di Turki. Turki adalah pasar terbesar kedelapan untuk Renault dan memiliki pabrik besar di Bursa dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 400.000 unit dan lebih dari 900.000 mesin. Pabrik tersebut mempekerjakan lebih dari 6.000 orang dan menjual hampir 50.000 unit kendaraan dalam enam bulan pertama tahun ini.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Seruan Erdogan untuk boikot ini juga akan terjadi di negara muslim lain yang akan meminta konsumen dan toko untuk menolak barang dan merek asal Prancis. Beberapa supermarket di Qatar dan Kuwait dilaporkan telah menarik barang seperti yoghurt, dan botol air soda di toko mereka.

Kemudian Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) mendorong pemilik Carrefour di Timur Tengah untuk memberikan pernyataan jika toko dimiliki sepenuhnya oleh Majid Al Futtaim, sebuah perusahaan yang berbasis di UEA.

Ketegangan kedua negara ini membebani mata uang Turki, Lira yang anjlok hingga menyentuh 8 lira per dolar AS. Ini merupakan yang pertama kalinya terjadi pada Turki.

Lira anjlok dan mencapai rekor terendah 8,15 lira terhadap dolar AS. Hal itu disebabkan kekhawatiran investor atas ekonomi Turki di tengah pandemi COVID-19 dan ketegangan antara Turki dan Prancis.

Menurut analis keadaan ekonomi Turki juga kian melemah saat ini, inflasi negara itu melonjak 11,7 % bulan lalu. Bahkan bank central Central Bank of the Republic of Turkey menolak kenaikan suku bunga utama Turki. Padahal kenaikan suku bunga dapat mengurangi inflasi dan mendorong investor untuk membeli Lira.

"Meningkatnya ketegangan geopolitik dengan AS dan UE adalah sumber baru tekanan yang melemahkan Lira," kata seorang pedagang valuta asing Turki yang dikutip oleh Reuters.

Dilansir BBC, analis Rabobank Piotr Matys mengatakan Turki juga khawatir jika kemenangan presiden AS didapatkan Joe Biden, Turki akan dihadapkan sanksi karena membeli sistem pertahanan anti pesawat Rusia.

Lira Turki telah kehilangan 26% nilainya tahun ini dan pihak berwenang Turki melaporkan telah menghabiskan sekitar US$ 134 miliar dalam 18 bulan terakhir untuk menopang mata uang tersebut.

Menjual miliaran dolar AS untuk mempertahankan lira telah menghabiskan cadangan devisa Turki. Perekonomian diperkirakan akan berkontraksi tajam tahun ini.

(das/ara)

Hide Ads