Misalnya saja, pada April-Oktober 2019 lalu, USTR melakukan evaluasi terhadap negara-negara mitra AS seperti Pakistan, Thailand, Brasil, Ekuador, Brasil, dan Indonesia. Menurut Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, AS melakukan penilaian terhadap enam produk ekspor asal Indonesia.
Dari keenam produk tersebut, hanya produk asam stearat (HS 38231100) yang tidak lagi mendapatkan tarif preferensi. Hal ini dikarenakan nilai ekspornya telah melebihi batas ketentuan kompetitif (competitive needs limitations/CNL). Artinya, produk asam stearat dinilai sudah sangat berdaya saing dan memiliki pangsa pasar yang sangat baik di AS sehingga tidak perlu lagi mendapatkan perlakuan khusus atau masuk dalam daftar GSP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari keterangan resmi Kemlu, Senin (9/11/2020), selama tahun 2019, United States International Trade Commission (USITC), mencatat ekspor Indonesia yang menggunakan GSP mencapai US$ 2,61 miliar. Angka ini setara dengan 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS, yakni US$ 20,1 miliar.
Ekspor GSP Indonesia di tahun 2019 berasal dari 729 pos tarif barang dari total 3.572 pos tarif produk yang mendapatkan preferensi tarif GSP.
Hingga Agustus 2020, nilai ekspor GSP Indonesia ke AS tercatat sebesar US$ 1,87 miliar atau naik 10,6% dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya. Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor GSP terbesar ke-2 di AS setelah Thailand (US$ 2,6 miliar).
(fdl/fdl)