Jakarta -
Kebocoran data pribadi terjadi bukan tanpa sebab. Data pribadinya yang kini marak diperjualbelikan itu terjadi karena ada upaya menarik untung di dalamnya.
Memangnya, berapa sih keuntungan yang bisa didapat dari aksi jual beli data pribadi tersebut? Apa bisa bikin tajir pelakunya?
Beberapa pengamat yang detikcom hubungi tak bisa memberi jawaban yang gamblang terkait harga data pribadi yang diperjualbelikan tersebut. Namun, mereka meyakini nilainya tidak mungkin murah, kalau tidak buat apa ada yang repot-repot mencuri dan menjual data pribadi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu sangat beragam ya harga sebuah data itu kan, tapi kan gini, data itu kalau dilihatnya per item data atau unstructure data itu ya murah mungkin, tapi kalau dikalikan dengan berapa puluh juta pengguna itu kan menjadi sangat-sangat besar," ujar Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy/ELSAM) Wahyudi Djafar kepada detikcom, Jumat (20/11/2020).
Wahyudi mencontohkan misal yang diperjualbelikan itu adalah data NIK penduduk Indonesia. Di dalam 1 NIK saja, kata Wahyudi ada 31 item data, artinya ada banyak sekali informasi dari 1 NIK saja, kemudian dikalikan berapa banyak penduduk Indonesia yang memiliki NIK. Tentu nilainya akan sangat mahal sekali.
Lalu, untuk contoh kasus Muslim Pro pun demikian, misal Muslim Pro punya wewenang mengakses berbagai informasi dari 1 penggunanya saja, tentu tidak mungkin diganti dengan harga yang murah.
"Dalam kasus Muslim Pro, itu kan penggunanya kan sekitar 100 juta di seluruh dunia, tersebar di sekian ratus negara, ketika misalnya 1 pengguna memiliki apps itu, dan apa saja data yang apps itu bisa ambil dari pengguna tersebut, apakah termasuk lokasi, memory card, gallery-nya (foto dan video) itu dari satu ponsel pengguna, dikali berapa ratus juta tadi, tentu banyak sekali item data yang diambil, maka harganya bisa sangat-sangat mahal," paparnya.
Hal serupa disampaikan oleh Pengurus Divisi Akses Informasi Southeast Asia Freeedom of Expression Network (SAFEnet) Nabillah Saputri.
"Tergantung sih, apalagi itu dilakukan secara grassroots, dan juga memang kita harus melihat dari data masing-masing processornya itu sendiri sih," kata Nabillah.
Untuk diketahui, data pribadi biasanya kerap diperjualbelikan kepada pihak swasta, pemerintah bahkan ke pasar gelap online (Dark Web). Merujuk penelitian Privacy Affair bertajuk Dark Web Price Index 2020, data pribadi dijual dengan harga yang beragam.
Kebanyakan data pribadi yang diperjualbelikan di Dark Web berupa detail kartu kredit, kredensial perbankan online, kredensial login sosial media, malware, hingga layanan DDoS attack. Ada juga yang menjual dokumen palsu seperti paspor, SIM, hingga kartu asuransi otomatis.
Berikut rincian harga data pribadi yang dikumpulkan oleh Privacy Affair, dikutip dari situs resminya:
1. Data Kartu Kredit
Untuk kategori data satu ini dibanderol dengan harga US$ 10 sampai US$ 65 atau setara Rp 140.000 - Rp 910.000. Untuk data akun Walmart lengkap dengan data kartu kredit penggunanya dihargai US$ 10, lalu untuk data kartu kredit dengan limit hingga US$ 1.000 dihargai US$ 12. Data kartu Mastercard dengan PIN nya dikenai harga US$ 15. Kartu kredit dengan limit hingga US$ 5000 harganya US$ 20. Sedangkan yang termahal berupa informasi kredensial login internet banking dengan minimum saldo US$ 2.000 di dalamnya, dikenakan harga $ 65.
2. Data e-wallet
Untuk kategori data ini, yang paling diminati adalah data-data akun Paypal. Data jenis ini dibanderol mulai US$ 98,15 hingga US$ 320,39 atau setara Rp 1,37 juta hingga Rp 4,48 juta. Paling murah adalah data akun Western Union yang diretas dengan saldo minimal US$ 1.000 dihargai US$ 98,15. Sedangkan yang paling mahal data akun Paypal dengan saldo US$ 1.000- US$ 3.000 dihargai $320,39.
3. Dokumen Palsu
Adapun yang dimaksud dokumen palsu di sini seperti SIM, asuransi, rekening bank, passport, uang palsu, ID card, hingga ID mahasiswa. Data-data itu dibanderol mulai dari US$ 25 hingga US$ 1.500 setara Rp 350 ribu hingga Rp 21 juta. Paling murah untuk data rekening bank Wells Fargo di harga US$ 25 dan yang paling mahal data passport warga negara AS, Kanada, dan Eropa senilai US$ 1.500.
4. Akun Sosial Media
Kategori data ini meliputi akun berbagai sosial media seperti Facebook, Instagram, Tik Tok, Spotify hingga LinkedIn. Akun sosmed paling banyak diburu adalah akun dengan minimal 1.000 followers. Data-data ini dibanderol mulai dari US$ 1 hingga US$ 155,73. Data akun Gmail menjadi yang paling termahal.
5. Malware
Selain data pribadi, data perangkat lunak atau Malware juga ikut diperjualbelikan di Dark Web. Untuk kategori ini dibanderol mulai dari US$ 70 hingga US$ 6.000.
6. DDoS Attack
DDoS Attack merupakan salah satu jenis serangan cyber, namun yang satu ini jenisnya adalah tautan phishing. Salah satu cara kerjanya dengan mengirimkan email dan SMS menyertakan tautan link yang tidak jelas isinya dan berpotensi menjadi kampanye penyebaran malware atau perangkat lunak berbahaya. Data semacam ini dibanderol mulai dari US$ 10 sampai US$ 800 lebih.