Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 masih akan 'sakit' alias mengalami tekanan. Pandemi virus Corona membuat penerimaan negara masih akan lebih rendah dibanding belanja.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan butuh langkah penyembuhan APBN jika Indonesia tidak mau ketinggalan dari negara lain terkait pemulihan ekonomi.
"Kami lihat kondisi APBN 2021 masih sakit dan butuh penyembuhan karena kalau lihat pendapatan negara masih jauh dari normal," katanya dalam webinar bertajuk 'Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi', Senin (23/11/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapatan negara pada 2021 diperkirakan hanya Rp 1.473,6 triliun atau turun sebesar 21,9% dibanding APBN 2020 sebelum pandemi yakni Rp 2.233 triliun. Di sisi lain, belanja pemerintah pada 2021 naik 8,3% atau Rp 2.750 triliun. Oleh karena itu, defisit anggaran pada 2021 ditetapkan sebesar 5,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan defisit yang kembali membengkak pada 2021, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Defisit yang melebar itu jangan sampai menjadi sia-sia dan harus berjalan efektif.
"Jika kita lihat pertumbuhan ekonomi di 2021 sebesar 3%, maka tidak worth it terhadap upaya alokasi defisit yang sedemikian besar, mencapai Rp 1.006,4 triliun, ini yang perlu jadi catatan bagaimana mengefektifkan tambahan utang terhadap pertumbuhan ekonomi 2021," jelasnya.
Tauhid menilai defisit APBN tahun depan dibayangi sejumlah risiko, termasuk risiko terkait pembiayaan dan risiko skema burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang tidak dilanjutkan. Padahal peran dari skema tersebut masih sangat dibutuhkan dalam memenuhi pembiayaan untuk pemulihan ekonomi.
"Termasuk kalau BI tidak mau lagi burden sharing di 2021 karena defisitnya sudah besar sekali, sekitar Rp 21 triliun di 2021 mendatang," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengakui memang defisit APBN masih mengalami tekanan sampai tahun depan. Dia menargetkan defisit akan kembali normal atau tidak sampai 3% baru terjadi pada 2023.
"Kita punya PR untuk secara bertahap, konsolidatif, (APBN) kembali ke 3% pada 2023. Betul bahwa APBN kita dari sisi defisitnya masih tinggi, masih tertekan. Tapi sebenarnya ini merupakan ikhtiar bagi kita untuk mencegah pembobokan (cara) sehingga recovery diharapkan bisa cepat pulih kembali," ungkapnya.
(eds/eds)