Fakta-fakta Ekonomi Halal RI: Keok di Ekspor, Juara di Investasi

Fakta-fakta Ekonomi Halal RI: Keok di Ekspor, Juara di Investasi

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 03 Des 2020 06:05 WIB
Ecological pigs and piglets at the domestic farm, Pigs at factory
Foto: Getty Images/iStockphoto/didesign021
Jakarta -

Laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2020/21 mencatat ada 15 negara dengan perekonomian halal terbesar di dunia. Laporan itu diproduksi oleh DinarStandard dan dipaparkan dalam virtual event Halal in Asia 2020.

Daftar 15 negara itu didasari oleh pertumbuhan dari 6 sektor dalam ekonomi halal antara lain keuangan syariah, makanan halal, busana muslim, wisata halal, hiburan dan rekreasi, farmasi dan kosmetik halal. Selain itu, SGIE juga menyesuaikan besarnya populasi dari masing-masing negara tersebut.

Dalam daftar 15 negara itu, Indonesia berada di posisi ke-4. Sementara itu, Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia yang menduduki posisi pertama dengan perekonomian halal terbesar di dunia, kedua Arab Saudi, dan ketiga Uni Emirat Arab (UEA).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Negara-negara yang memiliki kinerja yang kuat pada sektor keuangan syariah ini secara agregat berdampak pada ranking-nya. Anda bisa lihat Malaysia memimpin ranking di beberapa sektor, utamanya karena Malaysia memiliki ekosistem keuangan syariah yang kuat, begitu juga dengan sektor makanan dan wisata halal, dan sebagainya," ujar CEO and Managing Director DinarStandard Rafi-uddin Shikoh dalam virtual event Reimagine: Halal in Asia 2020yang bertema Asia's Golden Age: 2021 and Beyond for Halal Ecosystem, Rabu (2/12/2020).

Secara keseluruhan, daftar 15 negara dengan perekonomian halal terbesar di dunia berdasarkan skor terbesar dari Global Islamic Economy Indicator (GIEI):

ADVERTISEMENT

1. Malaysia (290,2 poin)

2. Arab Saudi (155,1 poin)

3. UEA (133 poin)

4. Indonesia (91,2 poin)

5. Yordania (88,1 poin)

6. Bahrain (86,9 poin)

7. Kuwait (73,3 poin)

8. Pakistan (70,9 poin)

9. Iran (64 poin)

10. Qatar (63,1 poin)

11. Oman (60 poin)

12. Turki (55,9 poin)

13. Nigeria (53,1 poin)

14. Sri Lanka (49,2 poin)

15. Singapura (47,4 poin)

Tak hanya dari daftar secara keseluruhan, Indonesia juga tak berhasil menduduki peringkat ke-1 dari pertumbuhan di 6 sektor yang menjadi Global Islamic Economy Indicator (GIEI).

Sementara itu, Malaysia masih memimpin baik di sektor makanan halal, keuangan syariah, wisata halal, serta farmasi dan kosmetik halal. Sedangkan, sektor busana muslim, lalu media dan rekreasi dipimpin oleh UEA.

Indonesia hanya menduduki posisi ke-4 pada sektor makanan halal, posisi ke-6 pada sektor keuangan syariah, posisi ke-6 pada sektor wisata halal, posisi ke-3 pada busana muslim, posisi ke-6 pada farmasi dan kosmetik muslim, dan posisi ke-5 pada media dan rekreasi halal.

Meski kalah dari Malaysia dalam daftar 15 negara dengan perekonomian halal terbesar di dunia, ternyata Indonesia memiliki keunggulan lain. Dari sisi investasi halal, Indonesia menjadi juara dunia.

Secara keseluruhan, total transaksi pada investasi ekonomi halal di dunia pada tahun 2019 mencapai US$ 11,8 miliar atau sekitar Rp 167 triliun (kurs Rp 14.161). Dari nilai tersebut, Indonesia berkontribusi 25% atau 38 transaksi, dan menduduki peringkat pertana dari daftar 20 negara.

Sementara itu, Malaysia ada di posisi kedua dengan 31 transaksi; ketiga adalah UEA dengan 20 transaksi; keempat Mesir dengan 16 transaksi; lalu Kuwait dengan 8 transaksi; Nigeria dengan 7 transaksi, Arab Saudi dengan 6 transaksi; Pakistan 5 transaksi; Turki 4 transaksi; Bangladesh, Brunei, Yordania, Oman, Tunisia, dan Inggris dengan 2 transaksi; serta Algeria, Bahrain, Belgia, Kepulauan Virgin Britania Raya, dan Belanda dengan 1 transaksi.

"Dari sudut pandang negara, Indonesia dan Malaysia memiliki total transaksi terbesar. Ini menggambarkan kuatnya pertumbuhan ekonomi halal pada ekosistem Asia Tenggara," ungkap Rafi-uddin.

Jika melihat dari sektornya, investasi halal di dunia paling besar ada di sektor makanan halal dengan kontribusi hingga 51,86%, kemudian keuangan syariah sebesar 41,8%, wisata halal 2,89%, farmasi halal 1,33%, kosmetik halal 1,06%, dan bidang lainnya 1,06%.

Melihat jenisnya, kesepakatan investasi paling besar ialah dari aksi merger dan akuisisi (M&A), yang berkontribusi sebesar 54% pada total investasi halal ke-20 negara tersebut. Kemudian jenis modal ventura sebesar 40%, dan private equity (PE) sebesar 6%.

2. Negara Minoritas Muslim Jadi Eksportir Produk Halal Terbesar di Dunia

Ternyata, eksportir produk-produk halal terbesar di dunia bukanlah negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim. SGIE 2020/21 mencatat, 5 negara eksportir produk halal terbesar adalah Amerika Serikat (AS), India, Brasil, Prancis, dan Rusia.

"Sekitar US$ 255 miliar (Rp 3.615 triliun) transaksi perdagangan di dunia berasal dari produk halal, yang 5 negara eksportir terbesarnya adalah negara yang bukan berpenduduk mayoritas muslim," jelas Rafi-uddin.

Sedangkan, negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim seperti Uni Emirat Arab (UEA) menduduki posisi ke-8, Turki ke-11, Indonesia ke-12, Malaysia ke-19, dan Brunei Darussalam menduduki posisi ke-169.

Indonesia sendiri mencatat nilai ekspor sebesar US$ 7 miliar atau sekitar Rp 99 triliun (kurs Rp 14.187) yang berkontribusi 2,8% pada total ekspor produk halal di dunia.

Kembali ke 5 negara eksportir terbesar produk halal itu, 4 di antaranya tengah mencatat kasus tertinggi virus Corona (COVID-19) di dunia. Misalnya saja AS yang menduduki posisi nomor 1 dengan kasus COVID-19 terbanyak, kemudian kedua adalah Brasil, ketiga India, dan keempat Rusia.

Menurut Rafi-uddin, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya rantai pasok produk halal di dunia.

"Rantai pasok produk halal menjadi terganggu, dan menciptakan 2 hal. Pertama kekhawatiran akan ketahanan pangan, atau produk esensial, farmasi, ketersediaan obat untuk negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim," ujarnya.

Meski begitu, menurut Rafi-uddin kondisi itu juga menciptakan peluang bagi produsen produk-produk halal di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, untuk mengambil alih kekosongan rantai pasok dari para eksportir.

"Kedua, kekhawatiran akan gangguan rantai paso kmendorong upaya untuk mencari pasokan yang lebih dekat ke rumah, atau sumber alternatif. Hal ini menciptakan banyak peluang bagi negara-negara lain untuk berkontribusi dalam rantai pasok produk halal," tandas dia.


Hide Ads