Badiucao, yang pada September lalu dianugerahi Penghargaan Internasional Vaclav Havel, menggunakan 74.000 pengikutnya di Twitter untuk meluncurkan serangkaian gambar satir yang menargetkan Nike, Apple dan Coca-Cola atas dugaan upaya mereka untuk melemahkan UU tersebut.
Berbicara kepada CNBC melalui telepon dari Australia, Badiucao yang menggunakan nama samaran mengatakan dia berharap kampanye tersebut akan meningkatkan kesadaran akan penganiayaan terhadap orang Uighur dan mendorong konsumen untuk mempelajari lebih lanjut tentang merek yang mereka beli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sangat mengecewakan melihat perusahaan-perusahaan besar itu mencoba memblokirnya dengan aksi lobi yang mereka lakukan. Saya pikir ini sangat tercela dan tidak dapat diterima," kata Badiucao.
"Pada akhirnya, pelanggan akan memutuskan reaksi perusahaan, karena mereka melakukan ini hanya untuk memenuhi keinginan kami, sehingga kekuatan masih ada di tangan konsumen," katanya.
Sementara itu, Nike dalam sebuah pernyataan kepada CNBC membantah melobi untuk perubahan pada Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur atau undang-undang kerja paksa lainnya. Mereka mengatakan pihaknya telah lama memprioritaskan diskusi konstruktif tentang masalah hak asasi manusia dengan anggota Kongres.
Perusahaan tersebut mengatakan tidak mengambil produk dari Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, dan pemasok kontraknya tidak membeli tekstil di sana. Coca-Cola mengatakan melarang semua jenis kerja paksa dalam rantai pasokannya dan menggunakan audit pihak ketiga yang independen untuk menegakkan pedomannya.
Sebuah fasilitas di Xinjiang yang memasok gula ke operasi pembotolan lokal berhasil menyelesaikan audit pada 2019. Coca-Cola menambahkan bahwa pihaknya tidak mengimpor barang dari fasilitas itu, yang disebut COFCO Tunhe, atau wilayah Xinjiang ke Amerika Serikat. Apple, yang juga menjadi sasaran kartunis Badiucao, tidak segera menanggapi permintaan komentar CNBC.
(toy/hns)