Cerita Perajin Terompet Tahun Baru di Masa Pandemi yang Terus Tergerus

Cerita Perajin Terompet Tahun Baru di Masa Pandemi yang Terus Tergerus

Arbi Anugrah - detikFinance
Selasa, 29 Des 2020 12:18 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Banyumas -

Momentum perayaan tahun baru biasanya identik dengan adanya terompet dan kembang api yang selalu dijadikan icon dalam menyambut malam pergantian tahun tersebut. Namun, di masa pandemi virus Corona (COVID-19) seperti saat ini, perajin dan penjual terompet musiman terpaksa harus menelan pil pahit.

Seperti Sudarmo (55) salah satu perajin terompet asal Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang sudah menggeluti bisnis tersebut sejak tahun 1990. Pasalnya, hingga H-3 pergantian tahun 2020 menuju 2021, tidak ada satupun pedagang yang membeli terompet yang dia buat.

Biasanya, pada saat-saat menjelang pergantian tahun, ribuan terompet yang dia buat dengan berbagai bentuk tersebut sudah laku terjual oleh pedagang dan berjajar di sepanjang jalan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau dulu, sudah hari-hari H seperti ini, barang saya di jalanan itu sudah banyak sekali. Kalau sekarang tidak ada satupun yang keluar dari saya," kata Sudarmo saat berbincang dengan detikcom di rumahnya, di Kelurahan Ajibarang Kulon RT 2 RW 6, Senin (28/12/2020).

Dia mengatakan jika dirinya sempat membuat terompet tersebut, namun karena ada pengumuman dari pemerintah yang melarang acara perayaan malam tahun baru dan setiap kegiatan yang menimbulkan kerumunan di masa pandemi. Maka dirinya hanya membuat sekitar 100 biji terompet dari berbagai bentuk.

ADVERTISEMENT

"Untuk yang tahun ini menjelang 2021, saya buat tidak banyak karena lihat situasi ada virus Corona. Saya buat itu plus bahan kalau dibuat semuanya bisa sekitar 300 biji berbagai macam terompet ada. Tapi kenyataannya yang sudah jadi saja sampai sekarang tidak ada yang keluar, karena katanya tidak boleh ada acara, tidak boleh ada kerumunan, akhirnya saya buat cuma 100 bijian," ujarnya.

Bapak empat anak ini menceritakan jika dirinya benar benar merasakan naik turunnya perkembangan penjualan terompet tahun baru ini, hingga masa kejayaannya.

Bermula dari mainan anak anak yang rutin dibeli setiap harinya pada sekitar tahun 1990-2000 an, hingga akhirnya terompet hanya dikenal pada saat malam pergantian tahun, sehingga banyak bermunculan para pedagang musiman yang berupaya mencari tambahan pendapatan dari berjualan terompet.

"Dulu kalau yang bantu buat paling keluarga, hanya saya dan anak. Biasanya saya buat sudah kurang dari 4 bulan sebelum tahun baru, kalau banyak. Berati bulan Agustus saya sudah buat sampai tahun baru, akhirnya barang numpuk dan saya pegang sendiri semuanya. Kalau dulu saya buat itu sampai puluhan ribu biji (terompet)," ceritanya.

Bahkan, dirinya mengaku sempat merasakan keuntungan besar dari membuat kerajinan terompet hingga puluhan juta, mulai dari terompet model naga, gitar dan kupu-kupu. Hingga merasakan pasang surut penjualan terompet sekitar tahun 2017 hingga tahun 2019.

"Ramainya, bisa dibilang saya panennya terompet itu tahun 2014-2016, itu saya merasakan panen terompet dengan modal Rp 5 jutaan, panennya bisa puluhan juta. Tapi sekarang akhirnya jadi gini," ucapnya.

Dia menjelaskan jika semenjak tahun 2017 banyak sekali isu negatif yang menerpa para perajin terompet mulai dari adanya penggunaan kertas sampul bertuliskan huruf arab, isu virus hingga pandemi virus Corona di tahun ini.

"Yang jelas menurun banget, sejak 2017 menurun 50 persen ya, setelah itu sampai 2019 itu 75 persen sekali menurun langsung drop, dan di tahun 2020 ini sama sekali tidak ada pembelian dan tidak bisa keluar, barang ada sudah saya bikin dan peking tapi tidak ada yang keluar satu pun," jelasnya.

Saat ini, dari segi harga pun dia mengatakan jika terompet yang dahulu harganya dapat mulai Rp 3.500 hingga Rp 10 ribu per bijinya, sekarang hanya dijual sekitar Rp 2.000 hingga Rp 6.500 per bijinya. Itupun dengan konsekuensi harga yang tidak bisa balik modal karena produksinya yang sedikit.

"Tapi kenyataannya sampai sekarang barang tetap tidak keluar, sama sekali, walaupun harga saya turunkan. Kerajinan terompet sekarang vakum, stag semua, sudah tidak ada modal, makanya sudah mendekati gini seberapa pun harga barang saya jual, karena biar balik modalnya aja. Saya sekarang hanya mengandalkan kebutuhan rumah (makan dan biaya hidup) hanya dari anak," ujarnya.

Meskipun demikian, dirinya mengaku tidak patah semangat, walaupun usaha sehari - hari sebagai tukang es dan mainan anak anak ini ikut terdampak akibat sekolah diliburkan dan tidak adanya aktivitas hajatan. Tapi dirinya mengaku mempunyai keahlian dalam membuat sablon cup gelas dan membuat mainan anak anak, meski hasilnya tidak sebesar terompet, hanya saja kegiatan tersebut saat ini terkendala pada modal usaha.

Selama ini, dirinya juga mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan sepeserpun dari pemerintah. Padahal itu sangat dibutuhkan untuk modal usahanya di tengah pandemi seperti saat ini.

"Harapan saya ke pemerintah untuk pedagang kecil yang musim-musim begini beralih, seperti kerajinan terompet yang diisukan itu supaya ada kelonggaran, kebijaksanaan dari pemerintah. Padahal saya sudah usahakan buat terompet bersih," jelasnya.

Hal senada juga dirasakan Kirno, penjualan es buah yang memajang beberapa biji terompet di sekitar pasar Cilongok, Banyumas saat ditemui detikcom. Tak ada pedagang terompet lainnya di sekitar wilayah tersebut selain dirinya yang mengaku hanya dititipi oleh temannya.

"Saya hanya membantu teman menjual terompet, ini titipan. Kasihan penjual terompet sekarang, ini juga sepertinya sisa tahun lalu, saya hanya dititipi 20 biji sekitar dua minggu lalu, ini sisa 6 biji. Tadi laku satu, itu juga ada orang beli es terus anaknya minta terompet. Saya jual Rp 5 ribu, itu aja ada yang nawar Rp 3 ribu, biasanya bisa laku puluhan (mendekati tahun baru)," ungkap dia.

(arb/dna)

Hide Ads