Pembatasan baru yang diberlakukan pemerintah mulai 11-25 Januari 2021 dinilai akan berdampak besar pada perekonomian nasional. Bahkan kebijakan tersebut bisa membuat ekonomi Indonesia kembali negatif di kuartal I-2021.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai, laju perekonomian yang semakin rendah akibat kebijakan pembatasan ini merupakan konsekuensi yang harus diambil pemerintah.
"Saya keseluruhan memang ada potensi pertumbuhan ekonomi akan negatif di kuartal I, tapi ini harga yang harus dibayar pemerintah jika ingin tetap memberikan atau tetap ingin pertumbuhan ekonomi bisa pulih lebih cepat, karena selama penanganan kesehatannya lambat maka pemulihan ekonomi akan berjalan lambat," kata Yusuf saat dihubungi detikcom, Rabu (6/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, peningkatan kasus positif COVID-19 di Indonesia saat ini sudah sangat tinggi yaitu sekitar 7.000 orang per harinya. Tentunya, kebijakan pembatasan baru ini perlu diambil pemerintah.
Jika pemerintah tidak mengambil kebijakan pembatasan baru ini, menurut Yusuf proses pemulihan ekonomi nasional pun akan tetap berjalan lambat dan akan berdampak lebih besar lagi terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2021.
"Jadi memang ketika pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi positif memang langkah PSBB untuk me-rem kegiatan ekonomi perlu dilakukan. Saya kira ini langkah yang baik," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah juga perlu mempertegas penerapan sanksi sosial kepada masyarakat yang melanggar kebijakan pembatasan baru ini.
Menurut dia, sanksi sosial yang diberikan kepada masyarakat menjadi efek jera serta membuat kebijakan pembatasan baru ini jauh lebih efektif. Adapun pengenaan sanksi sosial yang lebih tegas agar masyarakat tidak lagi cuek terhadap pandemi COVID-19.
"Tentu harus ada punishment (di Pembatasan baru), tapi dalam kondisi ekonomi seperti ini sangat berat. Tentu sanksi sosial, katakanlah yang melanggar itu harus bersih-bersih dan sebagainya itu jauh membuat efek jera dibanding denda," katanya.
"Kalau denda takutnya memang ekonomi lagi sulit dan sebagainya. Tapi yang lebih pas itu ada di tengah-tengah, karena di masyarakat itu seperti tidak ada apa-apa, di pasar, di lingkungan rumah, di kantor jadi biasa saja," tambahnya.