Jakarta -
Pemerintah memastikan 'PSBB ketat' atau pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berlaku mulai tanggal 11 sampai 25 Januari 2021. Kebijakan ini hanya diberlakukan di beberapa wilayah Jawa dan Bali sesuai dengan kriteria yang ditetap pemerintah.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah mengatur kembali mengenai jam operasional pusat perbelanjaan, kapasitas pengunjung restoran, kewajiban kerja dari rumah (WFH), dan menetapkan kembali pembelajaran jarak jauh.
Kebijakan pembatasan baru di Jawa Bali ini tentu memberikan dampak terhadap laju perekonomian nasional. Apalagi kedua pulau ini jika digabung berkontribusi sekitar 60% terhadap produk domestik bruto (PDB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto meminta kepada masyarakat Indonesia untuk tidak panik terhadap pelaksanaan PSBB Jawa Bali. Pembatasan baru ini dilakukan mengingat kasus positif COVID-19 yang belakangan ini meningkat sangat tinggi.
"Ini bukan pelarangan kegiatan masyarakat," kata Airlangga dalam acara PPKM di berbagai daerah Jawa dan Bali secara virtual, Kamis (7/1/2021).
Kriteria pemberlakuan 'PSBB ketat' ini hanya berlaku bagi daerah dengan tingkat kematian di atas rata-rata tingkat kematian nasional ataupun 3%. Daerah dengan tingkat kesembuhan di bawah rata-rata tingkat kesembuhan nasional yaitu sebesar 82%.
Selanjutnya, daerah dengan tingkat kasus aktif di bawah rata-rata tingkat kasus aktif nasional yaitu sebesar 14%. Daerah dengan tingkat keterisian rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) untuk ICU dan isolasi di atas 70%.
Soal PSBB lanjut halaman berikutnya>>>
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan perekonomian Indonesia akan lebih buruk jika kebijakan pembatasan baru atau PSBB di wilayah Jawa dan Bali tidak dilakukan.
Hal itu diungkapkannya saat konferensi pers tentang realisasi pelaksanaan APBN tahun anggaran 2020 secara virtual, Rabu (6/1/2021). Dia menyadari, kebijakan pembatasan baru ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi di tahun 2021.
"Namun kalau itu tidak dilakukan dan getting worse juga perekonomian juga akan buruk, jadi pilihannya tidak terlalu banyak," kata Sri Mulyani.
Keputusan pemerintah menerapkan PSBB di Jawa-Bali juga karena kasus positif Corona di Indonesia terus bertambah setiap harinya. Oleh karena itu, pembatasan baru merupakan keputusan bagi pemerintah untuk menekan penyebaran COVID-19.
Dia mengungkapkan, pemberlakuan PSBB pada awal Maret secara nasional dan pada September yang diberlakukan oleh DKI Jakarta sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Namun hal itu menjadi satu-satunya pilihan pemerintah untuk menangani kasus penyebaran COVID-19.
"COVID ini memang harus dikelola secara luar biasa makanya istilah gas dan rem sangat penting. Kalau lihat eskalasi kasus yang mengharuskan kita semua harus kembali menerapkan disiplin (pembatasan baru) untuk turunkan kasus maka akan ada dampak terhadap perekonomian," ujarnya.
Meski demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini meminta agar masyarakat tetap menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun. Dengan begitu pemberlakuan pembatasan baru akan berjalan efektif.
Beberapa ekonom menilai, pembatasan baru ini membuat pemulihan ekonomi nasional semakin lambat. Bahkan, kebijakan tersebut bisa membuat ekonomi Indonesia kembali negatif di kuartal I-2021.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai, laju perekonomian yang semakin rendah akibat kebijakan pembatasan ini merupakan konsekuensi yang harus diambil pemerintah.
"Saya keseluruhan memang ada potensi pertumbuhan ekonomi akan negatif di kuartal I, tapi ini harga yang harus dibayar pemerintah jika ingin tetap memberikan atau tetap ingin pertumbuhan ekonomi bisa pulih lebih cepat, karena selama penanganan kesehatannya lambat maka pemulihan ekonomi akan berjalan lambat," kata Yusuf.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad mengatakan pemerintah juga perlu mempertegas penerapan sanksi sosial kepada masyarakat yang melanggar kebijakan pembatasan baru ini.
Menurut dia, sanksi sosial yang diberikan kepada masyarakat menjadi efek jera serta membuat kebijakan 'PSBB ketat' ini jauh lebih efektif. Adapun pengenaan sanksi sosial yang lebih tegas agar masyarakat tidak lagi cuek terhadap pandemi COVID-19.
"Tentu harus ada punishment (di pembatasan baru), tapi dalam kondisi ekonomi seperti ini sangat berat. Tentu sanksi sosial, katakanlah yang melanggar itu harus bersih-bersih dan sebagainya itu jauh membuat efek jera dibanding denda," katanya.
"Kalau denda takutnya memang ekonomi lagi sulit dan sebagainya. Tapi yang lebih pas itu ada di tengah-tengah, karena di masyarakat itu seperti tidak ada apa-apa, di pasar, di lingkungan rumah, di kantor jadi biasa saja," tambahnya.