Namun, khususnya untuk tempe, ukuran kedelai lokal yang lebih kecil ketimbang kedelai impor memang membuat hasil produksi tempe berbeda, sehingga para perajin lebih memilih kedelai impor daripada lokal untuk membuat tempe.
"Cuma beda tempenya. Karena biji kacang kedelai lokal itu kan kecil-kecil. Jadi berbeda ukuran biji yang di tempe. Karena ukuran kedelai lokal kan lebih kecil daripada kedelai impor. Khusus tahu lebih suka kedelai lokal. Tempe lebih suka kedelai impor," tutur Aip.
Namun, menurut Aip hal itu bisa dituntaskan jika pemerintah memberikan bimbingan kepada petani untuk menanam kedelai yang lebih bagus lagi kualitasnya. Selain itu, menurutnya upaya itu bisa mendorong minat petani menanam kedelai, yang selama ini masih sangat minim.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi harga, kedelai lokal sebenarnya sangat murah. Namun, hal itulah yang membuat para petani kurang tertarik menanam kedelai karena marginnya sangat tipis.
"Harga karena kedelai lokal tidak standar, kecil-kecil, kadang-kadang muda, kadang tua, dan kedelai lokal ini memang kurang pembinaan dari pemerintah, sehingga harganya ada yang dijual Rp 5.500-6.500 per kilogram (kg). Jadi petani lokal tidak tertarik. Mereka tidak mau tanam kedelai, mendingan tanam padi atau jagung," papar dia.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah mulai menyoroti dan memberi bimbingan terkait produksi kedelai, agar semakin banyak petani yang mau menanam kedelai. "Jadi memang dibutuhkan bimbingan dari pemerintah," pungkas Aip.
(ara/ara)