Solo beberapa kali mendapatkan penghargaan terkait kenyamanan kota hingga layak dihuni anak-anak, mahasiswa, hingga orang tua. Disebut-sebut bahwa biaya hidup di Solo ialah yang termurah di Indonesia, benarkah?
Terkait biaya hidup, tentu ada beberapa faktor yang diperhatikan. Khususnya ialah kebutuhan pokok seperti tempat tinggal, makan, pakaian hingga pendidikan.
Salah satu warga Kabupaten Purworejo, Adil, sudah sekitar 12 tahun tinggal di Solo. Menurutnya, biaya hidup di Solo terbilang murah dari berbagai faktor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia kini menyewa kamar kos di kawasan Petoran, Jebres, Solo seharga Rp 250 ribu per bulan. Harga tersebut menurutnya paling murah daripada indekos di tempat lain.
"Kos saya masih termasuk dekat kampus UNS dan ISI. Tempat saya ini mungkin yang paling murah. Rata-rata di sini Rp 300-500 ribu per bulan," kata Adil saat dihubungi detikcom, Minggu (24/1/2021).
Untuk makan sehari-hari, dia mengaku menghabiskan rata-rata Rp 8 ribu sekali makan. Namun jika kepepet, uang Rp 2 ribu pun bisa dapat makan nasi bungkus.
"Makan Rp 8 ribu itu sudah enak, pakai lauk, teh. Kalau cuma nasi sayur sekarang Rp 5 ribu. Kalau mau murah lagi bisa beli nasi bungkus di wedangan itu Rp 2 ribu sudah bisa makan," katanya.
Dibandingkan di tempat asalnya, Adil menilai biaya hidup di Kota Solo lebih murah. Selain itu, Solo menurutnya memiliki fasilitas publik yang lengkap.
"Transportasi mudah, tempat rekreasi juga murah. Beli pakaian di sini ada Pasar Klewer yang murah. Fasilitas publiknya lengkap," ungkapnya.
Pakar ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Bambang Irawan, menilai murah sebetulnya adalah sesuatu yang relatif. Namun dia sepakat jika biaya hidup di Solo disebut murah.
"Terutama untuk makanan, Solo ini termasuk murah. Apalagi kalau yang menilai wisatawan. Coba saja makanan khas Solo, di tempat ternama pun harganya terjangkau oleh wisatawan, gudeg paling mahal Rp 30 ribu, tengkleng Rp 50 ribu. Kalau di tempat biasa bisa jauh lebih murah," kata Bambang saat dihubungi detikcom, Minggu.
Menurutnya, para pelaku usaha pun tidak akan berani mematok harga tinggi. Sebab persaingan harga di Solo cukup ketat sehingga pedagang khawatir akan kalah saing.
"Di Solo ini saingannya banyak. Misal jual nasi liwet Rp 25 ribu, ya orang pilih yang lain. Yang harga Rp 5 ribu saja ada kok, itu pun sudah enak," ujar dia.
Terkait tempat tinggal juga demikian, dibandingkan di Yogyakarta dan Semarang, Solo masih lebih murah. Selisihnya bisa sampai Rp 200 ribu untuk kelas yang setara.
"Di Solo rata-rata rentang harganya Rp 300 ribu ada, Rp 3,5 juta ya ada. Geser ke Yogyakarta atau Semarang mungkin sekitar Rp 750 ribu sampai Rp 5 juta," ujar dia.
Terkait biaya pendidikan, Bambang menilai hal tersebut tergantung pada tempat pendidikan. Namun rata-rata dapat terjangkau, apalagi saat ini banyak bantuan program bantuan pemerintah terkait pendidikan.
"Kuliah dengan uang semester Rp 1 juta itu masih ada di Solo. Menurut saya disesuaikan kemampuan saja. Terlebih sekarang ada sistem zonasi, sehingga tidak ada sekolah yang mentereng, semua sama," ujar dia.
Bambang menyebut kondisi tersebut bukan berarti tingkat perekonomian di Solo yang lambat. Namun menurutnya, justru perekonomian di Solo terkendali.
"Memang pendapatan per kapita di Solo tidak tinggi, sekitar Rp 2 juta per jiwa. Tapi perekonomian rata-rata naik 5 persen per tahun. Inflasi juga terkendali. Namun memang tidak semua sektor tumbuh pesat," tutupnya.
(bai/dna)