Neraca dagang Indonesia beberapa kali surplus selama pandemi virus Corona (COVID-19) pada 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan surplus neraca dagang US$ 21,74 miliar, tertinggi dalam 9 tahun terakhir.
Neraca dagang surplus karena tahun lalu total nilai ekspor mencapai US$ 163,31 miliar dan impor sebesar US$ 141,57 miliar. Bagaimana respons Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi terhadap surplus neraca dagang ini?
Menjawab itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengatakan, kinerja impor yang turun justru menunjukkan tanda-tanda tidak baik pada perekonomian Indonesia. Pasalnya, sebagian besar impor yang dilakukan Indonesia adalah untuk bahan baku atau penolong industri, yang dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indonesia itu impor 70,3%, hampir dari 3/4 kita dipakai untuk bahan baku dan bahan penolong. Artinya begini, kalau bahan baku dan bahan penolongnya turun, itu berarti industrialisasi di dalam negerinya turun. Kalau industrialisasi di dalam negeri turun, jangan-jangan karena konsumsinya turun, atau menyebabkan konsumsinya turun," ujar Lutfi dalam konferensi pers virtual Trade Outlook 2021, Jumat (29/1/2021).
Menurut Lutfi, impor yang sebagian besar bahan baku atau penolong itu justru harus dijaga untuk menumbuhkan industri dalam negeri. Ia justru melihat, ke depannya akan ada pertumbuhan impor, yang pada akhirnya menciptakan pertumbuhan ekspor juga.
"Kita mesti jaga bersama-sama. Saya melihat ke depan kita akan terjadi pertumbuhan di impornya, maupun diekspornya, dan dengan begitu akan terjadi pertumbuhan di dalam konsumsi yang juga menggerakkan daripada sektor keuangan kita. Nah kalau ini terjadi, GDP growth kita akan lebih bagus, karena lebih dari 50% tumbuh dari konsumsi," urainya.
Konsekuensinya memang defisit neraca dagang bisa terjadi lagi. Penyebabnya tak hanya bahan baku atau penolong industri, melainkan juga impor minyak dan gas (migas) yang cukup besar.
"Apa yang akan terjadi? Memang penyebabnya di situ akan menjadi langganan biasa. Yaitu terjadi defisit, itu karena kita mengimpor minyak dan gas, dan barang-barangnya," tutur Lutfi.
Oleh sebab itu, untuk memperkuat neraca dagang Indonesia, diperlukan reformasi besar-besaran, khususnya di sektor energi. Namun, untuk menyelesaikannya dibutuhkan waktu yang cukup panjang.
"Salah satunya untuk menjadi jalan itu adalah perpindahan dari mesin mobil biasa yang kita punya sekarang itu, menjadi electric vehicle. Bayangan saya, karena kita di depan ini berteknologi tinggi, dan lithium baterai akan diproduksi di Indonesia, mudah-mudahan 30% daripada mobil kita sebelum 2030 sudah mendapatkan bahan dari baterai lithium. Jadi kita mengimpor lebih sedikit migas, dan mudah-mudahan ini memperbaiki neraca perdagangan, dan juga neraca keuangan kita, defisit transaksi berjalan kita. Nah inilah cita-citanya 5-10 tahun ke depan," kata mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu.
(vdl/hns)