Pemerintah menggelontorkan dana jumbo hanya untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN). Uang yang dianggarkan Rp 695,2 triliun atau nyaris Rp 700 triliun. Namun, pertumbuhan ekonomi di 2020 tetap negatif, tepatnya -2,07%.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman, pun mempertanyakan anggaran jumbo tersebut tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
"Memang proses perbaikan ekonomi sedang terjadi, permasalahannya adalah pertumbuhannya kok dirasa masih belum optimal? padahal alokasi fiskalnya cukup besar, hampir Rp 700 triliun, tapi kok belum nendang ya? ini permasalahannya," kata dia dalam konferensi pers virtual, Minggu (7/2/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya ada masalah pada efektivitas intermediasi, yaitu kegiatan pengalihan dana dari penabung kepada peminjam
"Kemudian untuk mengkapitalisasi modal tadi untuk mendorong supply driven itu tidak mulus, ada bottle neck-nya dan ini tentu harus disinergikan dengan kebijakan fiskal, dan nyatanya di supply driven juga tidak berjalan dengan prima," paparnya.
Pertanyaan juga muncul dari kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia yang sudah diturunkan ke 3,75%, menurutnya itu cukup signifikan. Jika kondisi normal, hal itu mestinya pembentukan modal akan terjadi dengan cepat.
"Tapi di tengah pandemi ini kok tidak memberikan kontribusi yang signifikan? ini pasti ada satu policy yang bisa jadi tidak menstimulir yang lebih optimal, sehingga para pengusaha di sini maupun konsumen tidak merespon itu," ujarnya.
"Apalagi suku bunga kredit sudah diturunkan terus sampai pada level hampir 11%, dan ini ternyata justru menjadi penyumbang di dalam memperdalam kontraksi pertumbuhan ekonomi di 2020," sambung Rizal.
Tak cuma itu, suku bunga kredit konsumsi juga sudah diturunkan, tapi tak berpengaruh dalam mendorong permintaan atau demand. Alhasil, pertumbuhan ekonomi masih saja melempem.
"Dan ini tentu ada permasalahan di daya beli," tambahnya.
(toy/dna)