Jakarta -
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia hari ini akan buka-bukaan atas dibukanya keran investasi untuk komoditas minuman beralkohol atau minuman keras (miras).
Izin investasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, itu diprotes banyak kalangan.
"Besok pagi (red: hari ini) rencana Kepala BKPM akan prescon (konferensi pers) menjelaskan mengenai industri Minol," kata Deputi Deregulasi Penanaman Modal BKPM, Yuliot melalui pesan singkat kepada detikcom, kemarin Senin (1/3/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Juru Bicara BKPM Tina Talisa juga menjawab hal yang sama saat dimintai keterangan.
"BKPM akan melaksanakan konferensi pers terkait hal ini agar informasinya utuh ya. Besok ya, supaya informasinya tidak sepotong-potong," tambah Tina.
Menurut pengamat kebijakan publik, peraturan tersebut tidak salah. Alasannya di halaman selanjutnya.
Simak video 'Aturan Soal Investasi Miras dalam Perpres Jokowi':
[Gambas:Video 20detik]
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menyebut hal itu bisa menjadi daya tarik bagi turis-turis asing datang ke Indonesia.
"Ini kan pemerintah mau menarik income dari sektor pariwisata. Kalau miras dilarang, itu turisnya juga pasti kurang karena turis itu datang ke suatu negara untuk santai. Dan biasanya turis negara-negara yang non muslim itu biasanya yang dicari miras," kata Agus ketika dihubungi detikcom, kemarin Senin (1/3/2021).
"Sekarang tinggal pilih mau bagaimana? Wong kita lagi mau genjot pariwisata menjadi sumber pendapatan kedua, terus nggak ada miras, (turis) nggak ada yang datang," sambung Agus.
Hal senada diungkapkan Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah. Menurutnya investasi miras konteksnya adalah untuk ekonomi dan pariwisata.
"Menurut saya kebijakan ini karena kaitannya menarik investasi ya sebetulnya sudah tepat. Kan logikanya itu kalau nggak ada miras kan nggak ada turis. Kan itu masalahnya, karena turis ini mendatangkan devisa," paparnya.
Dia juga menekankan bahwa investasi miras tidak dibuka di semua daerah. Daerah-daerah yang ditetapkan menurutnya selama ini sudah terbiasa dengan miras.
"Jadi, kalau secara pemikiran investasi dan ekonomi kan itu satu ya tentu positif karena mendatangkan pemasukan bagi negara. Lalu itu juga menyerap tenaga kerja. Jadi kita berpikir positif," tambahnya.
Sementara ekonom menilai kebijakan tersebut tidak signifikan berdampak positif terhadap ekonomi. Penjelasannya di halaman selanjutnya.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy menilai pengaruhnya akan sangat kecil terhadap ekonomi, khususnya untuk 4 provinsi itu sendiri.
"Saya belum menemukan pengaruh investasi minuman beralkohol ke daerah yang dimaksud. Daerah-daerah yang dimaksud lebih banyak ekonominya didorong bukan kepada industri minuman beralkohol tetapi kepada sektor lain," tuturnya kepada detikcom, Minggu (28/2/2021).
Yusuf mencontohkan Papua, provinsi paling timur itu menurutnya lebih banyak didorong oleh industri pertambangan. Sementara Bali banyak didukung pariwisata.
Selain itu menurut Yusuf kebijakan ini memancing penolakan dari berbagai pihak. Dengan begitu potensi resistensi dari kebijakan investasi miras ini cukup besar.
"Sehingga pada muaranya akan berdampak pada minat investor nantinya," tambahnya.
Sementara Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai justru kebijakan itu membuat wajah Indonesia di mata investor asing khususnya dari negara muslim kurang bagus.
"Banyak sektor yang bisa dikembangkan selain industri miras. Kalau hanya punya dampak ke tenaga kerja, sektor pertanian dan pengembangan agro industri harusnya yang dipacu," terangnya.
Menurut Bhima dengan dibukanya investasi minuman beralkohol akan berdampak buruk secara jangka panjang. Selain kesehatan, berpotensi menimbulkan gejolak sosial.
"Apalagi kalau produk mirasnya ditawarkan ke pasar dalam negeri. Sebaiknya aturan ini direvisi lagi dengan pertimbangan dampak negatif dalam jangka panjang. Ini bukan sekedar pertimbangan moral tapi juga kerugian ekonomi dari sisi kesehatan," tutupnya.