Gejolak Saham hingga Harga Minyak Bikin Investor Deg-deg Ser

Gejolak Saham hingga Harga Minyak Bikin Investor Deg-deg Ser

Aulia Damayanti - detikFinance
Senin, 08 Mar 2021 12:04 WIB
Bursa saham Wall Street di AS
Ilustrasi/Foto: Reuters
Jakarta -

Para investor tengah khawatir dengan kondisi pasar saham dan obligasi saat memasuki fase baru pandemi COVID-19. Kekhawatiran pun berkembang pada pemulihan ekonomi yang diprediksi menyebabkan lonjakan inflasi.

Dikutip dari CNN, Senin (8/3/2021) Aksi jual obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) juga memicu imbal hasil naik dan turun, hal itu berdampak buruk bagi pasar saham. S&P 500 saja telah mengalami penurunan selama tiga minggu berturut-turut karena imbal hasil obligasi.

Kebijakan moneter yang menetapkan suku bunga terendah telah menjadi keuntungan bagi investasi berisiko seperti saham selama setahun terakhir. Namun, Wall Street khawatir hal itu bisa berubah ketika suku bunga mulai naik lagi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski kekhawatiran memuncak, ada secercah harapan untuk pemulihan di sektor tenaga kerja. Ekonom yang disurvei oleh Refinitiv memperkirakan bahwa ekonomi AS menambah 182.000 pekerjaan di Februari, naik dari 49.000 di Januari. Namun, peningkatan itu masih di bawah rata-rata karena masih ada jutaan pekerjaan yang musnah.

Investor juga diketahui akan sangat waspada terhadap tanda-tanda inflasi upah yang tidak terduga. Penghasilan rata-rata per jam diperkirakan naik 0,2%. Sebelumnya, salah satu alasan inflasi begitu rendah dalam beberapa dekade terakhir adalah berkat China, yang telah berfungsi sebagai pabrik global untuk barang-barang berbiaya rendah.

ADVERTISEMENT

China menargetkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 6% pada tahun 2021. Pemulihan yang kuat di China dapat membantu menjaga harga tetap rendah. Tetapi ada beberapa kekhawatiran bahwa luka ekonomi akibat pandemi telah merusak rantai pasokan secara permanen dan mengurangi kapasitas produksi yang memungkinkan kenaikan pada inflasi.

Tidak hanya khawatir pada saham, obligasi, dan inflasi, sektor energi juga mengkhawatirkan investor. Harga minyak melonjak setelah produsen memperpanjang pengurangan produksi.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

OPEC+ mengatakan sebagian besar akan membatalkan pengurangan produksi selama bulan April. Rusia dan Kazakhstan diberikan pengecualian untuk sedikit meningkatkan produksi mereka.

Padahal sebelumnya OPEC + setuju pada bulan Januari untuk menjaga produksi tetap stabil selama Februari dan Maret. Pada saat itu, Arab Saudi juga berjanji untuk memangkas produksinya dengan tambahan 1 juta barel per hari. Untuk Arab Saudi sendiri dia sepakat untuk memperpanjang pemotongan ekstra hingga April.

Dalam beberapa bulan terakhir, kenaikan harga minyak telah membuat produsen lebih yakin bahwa pasar berada pada pijakan yang kokoh setelah pandemi usai. Namun untuk saat ini, sejumlah kelompok industri energi memilih untuk bermain aman.

Akibatnya, harga minyak melonjak. Minyak AS terakhir diperdagangkan di atas US$ 65 per barel untuk pertama kalinya sejak Januari 2020. Minyak mentah berjangka Brent, patokan global, mendekati US$ 68,50.

Analis minyak UBS Giovanni Staunovo berpendapat harga minyak AS akan naik menjadi US$ 72 per barel akhir tahun ini jika lonjakan permintaan energi yang diharapkan terwujud saat ekonomi dibuka kembali.

"Dengan pendekatan yang hati-hati dari OPEC + dan pertumbuhan produksi yang terbatas di luar grup, persediaan minyak kemungkinan besar akan turun dengan cepat pada bulan April," kata Staunovo.


Hide Ads