Jakarta masuk daftar kota termahal dunia 2021 berdasarkan laporan dari Global Wealth and Lifestyle Report. Ibu Kota Indonesia itu berada di urutan ke-20 dari 25 kota negara di dunia, mengalahkan Sao Paulo, Mumbai, Mexico City, Vancouver, dan Johannesburg.
Pengamat ekonomi menilai laporan itu membuat ketimpangan antara si kaya dan si miskin makin lebar di Jakarta. Berikut 3 faktanya:
1. Ketimpangan Semakin Lebar
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan laporan itu membuktikan bahwa yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal itu dikarenakan si kaya lebih banyak menabung karena tidak bisa menghabiskan uangnya sebagaimana mestinya seperti untuk liburan hingga gym.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bisa kelihatan misalnya pada saat pandemi salah satunya tingkat simpanan orang Indonesia terutama yang dengan rekening di atas Rp 5 miliar di bank justru pada saat pandemi dia malah makin cepat peningkatannya. Padahal yang rekening kecil yang di bawah Rp 100 juta itu cenderung menurun dari sisi pertumbuhannya," tuturnya, Rabu (14/4/2021).
Baca juga: Jakarta di Daftar Kota Termahal Dunia |
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, gini ratio Jakarta berada di 0,400 poin atau sudah meningkat dibanding 2019 yang di posisi 0,391. Itu berarti potret ketimpangan di Jakarta semakin lebar, bahkan lebih tinggi dari rata-rata nasional yang 0,385.
"Secara nasional kan 0,385, Jakarta 0,400 di 2020. Artinya kesenjangan di Jakarta lebih gede dari rata-rata nasional. Meskipun yang paling tinggi ada di Yogyakarta karena yang miskinnya kan jauh lebih dalam dibandingkan di Jakarta," tutur Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad.
2. Biaya Hidup Mahal
Tauhid mengatakan hasil laporan itu bisa membuat ketimpangan di Jakarta semakin lebar. Pasalnya, biaya hidup di Jakarta bisa semakin mahal dan makin banyak masyarakat miskin yang tak bisa mengaksesnya.
"Pasti dengan Jakarta jadi kota mahal dunia, ketimpangan semakin lebar. Kebutuhan yang mahal terutama beberapa produk misalnya gaya hidup, ini kan kebanyakan dipengaruhi lifestyle, tentu penduduk miskin tidak mampu mengaksesnya," kata Tauhid, Rabu (14/4/2021).
3. Solusi
Tauhid menyarankan agar pemerintah provinsi lebih memberdayakan masyarakat miskin. Salah satunya dengan memberikan bantuan sosial (bansos) agar kebutuhannya terpenuhi.
"Mereka harus diberikan pekerjaan yang layak. Caranya berikan akses pendidikan, kesehatan, akses ke perumahan, kemudian layanan transportasi publik dan sebagainya sehingga rumah tangga miskin bisa cepat dipenuhi dan bisa mendapat pekerjaan," tambahnya.
Cara lainnya untuk mengurangi ketimpangan di Jakarta adalah menekan orang kaya agar tidak semakin kaya. Itu bisa dilakukan salah satunya dengan mendorong pemberlakuan pajak progresif yang hasilnya bisa digunakan untuk tambahan bansos bagi masyarakat miskin.
"Misalnya ya kalau punya mobil satu pajaknya 10%, tapi kalau punya mobil 2 nah itu 20%, kalau punya mobil 3, 30%. Jadi bukan 10%, 10%, 10%, nggak tapi tarifnya dinaikkan. Itu namanya pajak progresif dan banyak dilakukan oleh negara-negara termasuk di barat yang menganut sistem kapitalis," kata Faisal.
(aid/ara)