Adanya dinamika politik antara ketiga negara itu dikhawatirkan justru akan berpengaruh terhadap proses perbaikan kinerja perdagangan RI, secara tidak langsung juga akan mempengaruhi perekonomian di dalam negeri.
"Karena beberapa pos di penerimaan negara itu tergantung dari kinerja perdagangan seperti misalnya bea keluar, kemudian penerimaan negara bukan pajak untuk non-migas," kata Rendy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tahu bahwa ketiga negara ini adalah partner dagang utama terbesar Indonesia," sebutnya.
Namun, dibalik sebuah masalah tentu ada peluang yang dapat diambil oleh Indonesia. Misalnya saja seperti perang dagang yang terjadi beberapa tahun lalu antara AS dan China, di mana banyak perusahaan asing yang merelokasi atau memindahkan pabriknya dari China.
"Tentu ada sentimen-sentimen yang kemudian bisa mempengaruhi misalnya berpindahnya/relokasi (pabrik) dari China ke negara-negara lain, dan peluang yang sama juga saya kira bisa diambil dari kondisi ini," tambahnya.
Sementara itu, Bhima berpendapat ketegangan antara China dengan AS dan Jepang berpeluang meningkatkan ekspor Indonesia.
"Indonesia bisa mengambil posisi strategis. Jadi di satu sisi juga meningkatkan kinerja ekspor ke China tapi di sisi yang lain juga Indonesia bisa mempengaruhi blok-blok selain China, yaitu Amerika Serikat dan Jepang sehingga pasarnya bisa lebih terbuka kepada produk-produk dari Indonesia," paparnya.
Jika ketegangan AS dan China dapat berlanjut, bukan tidak mungkin kedua negara akan membuat kebijakan yang dapat menguntungkan Indonesia, misalnya saja memberikan insentif bea masuk terhadap produk Indonesia.
"Nanti tinggal bagaimana China, kemudian Amerika Serikat justru bersaing untuk memberikan bea masuk yang lebih rendah barang-barang dari Indonesia, karena dianggap Indonesia ini adalah battle ground dari perebutan strategis geopolitik dan perdagangan internasional juga," tambah Bhima.
(toy/ara)