Dari sisi prediksi nilai perdagangan akibat CEPA, diperkirakan impor Indonesia dari EFTA akan naik lebih cepat daripada ekspor Indonesia ke EFTA, sehingga mungkin terjadi tekanan pada neraca perdagangan.
"Melalui sebuah simulasi sederhana dengan aplikasi GTAP (Global Trade Analysis Project), dengan permisalan kedua pihak mengeliminasi 50% tarif untuk seluruh jenis produk, maka hasilnya adalah kenaikan ekspor Indonesia (Rp 385 miliar) lebih kecil daripada perkiraan kenaikan impornya dari EFTA (Rp 682 miliar). Tentu ini hanyalah simulasi awal untuk bahan perumusan strategi. Realisasi manfaat dari CEPA masih sangat tergantung dari kinerja dunia usaha nasional dalam memanfaatkan peluang yang terbuka," katanya.
Karena adanya kemungkinan tekanan pada neraca perdagangan, maka Indonesia harus mengambil manfaat lain dari CEPA. Pertama, fokus menggunakan pasar EFTA untuk produk industri pengolahan yang bernilai tambah, untuk memperkuat industri pengolahan domestik dan menghindari ketergantungan Indonesia terhadap ekspor produk primer seperti karet dan batu bara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalaupun ada produk primer yang mungkin masih bisa dikedepankan untuk pasar EFTA adalah minyak sawit, sebagai jalan masuk ke Eropa di tengah resistensi Uni Eropa atas minyak sawit Indonesia. Kedua, menarik investasi berkualitas dari EFTA. Negara-negara EFTA dikenal sebagai sumber investasi asing langsung bagi ke berbagai Negara di dunia dengan fokus sektor berikut: Liechtenstein dan Swiss pada sektor Keuangan dan perbankan; Islandia dan Swiss pada sektor farmasi, kimia, dan plastik; Norwegia pada ekstraksi pertambangan dan migas; Islandia pada sektor energi panas bumi; serta Swiss dan Norwegia pada sektor manufaktur dan jasa logistik," tulisnya.
(fdl/fdl)