PDB RI Tahun 2020 Minus, Sri Mulyani: Ekonomi Hilang Rp 1.356 T

PDB RI Tahun 2020 Minus, Sri Mulyani: Ekonomi Hilang Rp 1.356 T

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 29 Apr 2021 20:00 WIB
mentor keuangan
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Produk domestik bruto (PDB) alias perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2020 minus 2,07%. Kondisi ekonomi yang 'merah' itu sudah terjadi sejak kuartal II-2020. Penyebabnya tak lain ialah pandemi COVID-19 yang juga merusak perekonomian negara-negara lain.

Kondisi itu menyebabkan Indonesia kehilangan nilai ekonomi sebesar Rp 1.356 triliun atau 8,8% dari PDB. Pasalnya, pemerintah sebelumnya menargetkan PDB Indonesia bisa tumbuh 5,3% sepanjang 2020.

"Kalau kita estimasi dari hilangnya kesempatan kita untuk bisa meraih pertumbuhan ekonomi yang tahun 2020 sebelum konflik ditargetkan 5,3%, dan kita kemudian berakhir dengan minus 2%, maka nilai ekonomi yang hilang akibat COVID-19 diestimasi adalah sekitar Rp 1.356 triliun atau 8,8% dari GDP tahun 2020," kata Sri Mulyani dalam webinar Kementerian PPN/Bappenas, Kamis (29/4/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain nilai ekonomi yang hilang, pandemi COVID-19 juga berdampak signifikan pada kesehatan APBN. Pada tahun 2020, defisit APBN melonjak lebih dari 3%, yakni mencapai 6,09% atau sebesar Rp 956 triliun. Kondisi itu disebabkan oleh meningkatnya pembiayaan alias utang yang digunakan untuk penanganan pandemi COVID-19.

Namun, Sri Mulyani mengatakan defisit APBN Indonesia relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, dan juga negara-negara G20.

ADVERTISEMENT

"Defisit APBN Indonesia masih relatif modest. Dan juga dari sisi utang publik terhadap GDP juga mengalami kenaikan, namun sekali lagi dibandingkan negara-negara baik di dalam lingkungan G20 maupun ASEAN, Indonesia masih relatif dalam situasi yang modest," papar dia.

Ia menjelaskan, hal tersebut tidak menjadikan pemerintah terlena. Namun, kondisi defisit APBN akibat utang yang meningkat tetap diperhatikan dengan serius.

Meski begitu, ia menegaskan pemerintah tetap memperhatikan persoalan utang ini dengan serius dan tidak terlena.

"Ini tidak berarti bahwa kita kemudian terlena atau dalam hal ini tidak menganggap bahwa persoalan perlu untuk diperhatikan secara sangat serius. Namun ini untuk mendudukkan dan memberikan perspektif bahwa seluruh negara di dunia melakukan countercyclical. Itu artinya defisit dan utang utang publik meningkat," tandas dia.

(vdl/dna)

Hide Ads