Kritik hingga desakan agar Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021 direvisi kian santer disuarakan sejumlah pihak. Seruan itu deras disuarakan sejak beberapa waktu belakangan. Aturan ini dituding menghambat pasokan gula rafinasi bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Jawa Timur.
Merespons seruan tersebut, petani tebu yang tergabung dalam Asosisasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Indonesia (Aptri) memandang, ada agenda besar mengagalkan swasembada gula di balik gencarnya desakan agar Permenperin 3/2021 direvisi bahkan hingga dibatalkan.
"Kami berharap semua pihak bisa mencermati secara baik dan benar, mana pihak yang mendukung langkah penegakan hukum atas tata niaga dan mana pihak yang justru akan menghancurkan industri gula dalam negeri dan menjadikan ketergantungan pada impor," tegas Ketua DPN Aptri PTPN XI, Sunardi Edy Sukamto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penegasan Edy tentu tak berlebihan, karena memang Permen 3/2021 didesain untuk memisahkan antara produksi gula kritasl rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri dan gula kristal putih (GKP) berbasis tebu untuk keperluan konsumsi masyarakat. Tujuan pemisahan ini adalah untuk mendukung upaya swasembada gula nasional dengan memaksimalkan serapan tebu dari petani nasional.
"Gula rafinasi didistribusikan untuk pemenuhan kebutuhan gula industri makanan dan minuman. Kami menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan respon semua pihak, namun kami juga berharap atas doa doa kita bisa terkabul dan realisasi sesuai aturan dan ditegakkannya kebenaran yang berpihak kepada rakyat dan bangsa. Sehingga tujuan kejayaan industri gula dan swasembada gula nasional bisa tercapai minimal secara berharap swasembada gula konsumsi langsung terlebih dahulu," tegas dia lagi.
Pernyataan Edy diperkuat Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita. Secara tegas Agus mengatakan, Permenperin 3/2021 memiliki arah yang jelas yaitu untuk membuat adanya pemisahan antara gula rafinasi untuk industri dan gula tebu untuk konsumsi.
Agus mengungkap awal mula dibentuknya pabrik gula rafinasi sebelum 2010. Pembentukan pabrik gila rafinasi ini dilakukan untuk mempermudah industri makanan dan minuman (Mamin) mendapatkan bahan baku. Agus melanjutkan, kala itu kebun tebu nasional belum memadai sementara kebutuhan industri mamin terus bertumbuh.
Kondisi tersebut yang pada 2010 dijadikan dasar dalam terbentuknya pabrik gula rafinasi yang berjumlah 11 perusahaan. Dari 11 pabrik tersebut saat ini total kapasitas produksinya mencapai 5 juta ton. Pun, hingga hari ini utilisasi baru mententuh angka 65% atau terpakai produksi sekitar 3 juta ton.
"Jika tidak melakukan demarkasi (pemisahan) ini pabrik gula rafinasi tidak akan pernah optimal, begitu pula sebaliknya," terangnya.
Permenperin 3/2021, lanjut Agus, juga punya peran penting sebagai payung hukum penyediaan gula bagi industri yang secara garis besar meliputi 3 aspek. Pertama adalah untuk memastikan gula rafinasi yang sejatinya diperuntukkan bagi bahan baku industri makanan minuman tidak bocor ke pasar konsumsi.
"Lalu kedua, terkait fokus produksi," sambung dia.