Aturan Baru Dituding Bikin Gula Rafinasi Langka, Menperin Buka Suara

Aturan Baru Dituding Bikin Gula Rafinasi Langka, Menperin Buka Suara

Tim detikcom - detikFinance
Kamis, 13 Mei 2021 20:04 WIB
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang/Foto: Dok. Kementerian Perindustrian
Jakarta -

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita buka suara menjelaskan Permenperin Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Pasalnya, belakangan ramai soal aturan tersebut dituding sebagai biang keladi terjadinya kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur.

Agus mengatakan Permenperin 3/2021 memiliki arah yang jelas yaitu untuk membuat adanya pemisahan antara gula rafinasi untuk industri dan gula tebu untuk konsumsi.

Hal ini perlu ditekankan Agus guna merespons maraknya isu miring yang mengatakan Permenperin 3/2021 hanya menguntungkan segelintir pelaku usaha, dan bertolak belakang dengan semangat Presiden Joko Widodo soal keberpihakan terhadap para pelaku UMKM dan industri rumahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini perlu diluruskan," tegas Agus dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (13/5/2021).

Agus menjelaskan Permenperin tersebut sebagai payung hukum penyediaan gula bagi industri yang secara garis besar, meliputi 3 aspek.

ADVERTISEMENT

Pertama, untuk memastikan gula rafinasi yang sejatinya diperuntukkan bagi bahan baku industri makanan minuman tidak bocor ke pasar konsumsi.

"Lalu kedua, terkait fokus produksi," sambung dia.

Agus menegaskan aturan ini memang didesain untuk menjaga fokus produksi pabrik gula nasional sesuai dengan bidang usahanya masing-masing. Pabrik gula rafinasi memproduksi gula kristal rafinasi (GKR) untuk melayani industri makanan, minuman dan farmasi.

Sedangkan pabrik gula berbasis tebu memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebagai upaya mencapai swasembada gula nasional.

Sederhananya, pabrik gula rafinasi tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu juga pabrik gula basis tebu tidak boleh memproduksi gula industri atau GKR.

"Pabrik gula berbasis tebu, sesuai dengan ijin investasinya harus terintegrasi dengan perkebunan tebu agar lebih fokus pada penyediaan bahan baku tebu, dengan perluasan atau pengembangan perkebunan tebu serta bermitra dengan petani (bantuan pengadaan bibit, saprodi, akses thd pembiayaan, bimbingan usaha produksi tebu), sehingga akan meningkatkan produksi dan produktivitas tebu serta menguntungkan petani, yang pada akhirnya akan mempercepat upaya-upaya Pemerintah menuju swasembada gula nasional," jelas dia.

Aspek ketiga, keberadaan Permenperin 3/2021 ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan gula konsumsi atau GKP untuk kebutuhan konsumsi masyarakat dan gula industri atau GKR sebagai bahan baku atau bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi.

Sementara berdasarkan Keppres 57 Tahun 2004 tentang Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan, di Indonesia, ada 2 jenis produk gula yang diproduksi dan diperdagangkan. Pertama Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk industri makanan, minuman dan farmasi. Kedua Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi. Penyatuan produksi kedua jenis gula tersebut belum bisa dilakukan.

Langsung ke halaman berikutnya soal awal pembentukan pabrik gula rafinasi.

Menurut Agus awal mula dibentuknya pabrik gula rafinasi sebelum 2010. Pembentukan pabrik giua rafinasi ini dilakukan untuk mempermudah industri makanan dan minuman (mamin) mendapatkan bahan baku. Agus melanjutkan, kala itu kebun tebu nasional belum memadai sementara kebutuhan industri mamin terus bertumbuh.

Kondisi tersebut yang pada 2010 dijadikan dasar dalam terbentuknya pabrik gula rafinasi yang berjumlah 11 perusahaan. Dari 11 pabrik tersebut saat ini total kapasitas produksinya mencapai 5 juta ton. Pun, hingga hari ini utilisasi baru mententuh angka 65% atau terpakai produksi sekitar 3 juta ton.

"Jika tidak melakukan demarkasi (pemisahan) ini pabrik gula rafinasi tidak akan pernah optimal, begitu pula sebaliknya," terangnya.

Agus menambahkan, bila nanti kapasitas produksi pabrik gula rafinasi sudah optimal dengan produksi pada kapasitas penuh, tentu akan kembali dirumuskan kebijakan baru.

"Mungkin, dengan pembukaan investasi baru mengingat rerata kebutuhan industri mamin memang tumbuh 5 persen bahkan sebelum pandemi pernah mencapai 8,9 persen hingga dua digit," tutur dia.


Hide Ads