Jakarta -
Pembelian barang secara online melalui mekanisme Cash On Delivery (COD) belakangan ini bikin heboh. Berbagai video viral terus bermunculan yang menunjukkan pembeli yang marah-marah ke kurir karena barangnya tidak sesuai dan mau dikembalikan.
Fenomena ini menimbulkan berbagai pandangan di media sosial. Ada yang menyalahkan si pembeli, ada yang menyalahkan si penjual dan ada juga yang berpandangan agar sistem COD dihapuskan karena banyak bikin masalah.
Padahal COD bukanlah hal yang baru. Mekanisme ini sudah sering digunakan bahkan oleh masyarakat Indonesia. Pakar Marketing, Yuswohady mengatakan sebelumnya sistem COD tersebut dilakukan dalam hal direct marketing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dulu COD populer konteksnya direct marketing, artinya dikirim. Jadi bukan melalui channel tapi dikirim langsung. Nah bayarnya setelah diterima. Pengertian umumnya adalah dia membayar barang itu, karena nggak bisa ketemu maka dikirim dulu, bayarnya pada saat diterima," terangnya saat dihubungi detikcom.
Dalam direct marketing, sistem pembelian COD dilakukan setelah pembeli dan penjual mencapai kesepakatan. Artinya pembeli sudah memastikan bahwa barang yang akan dibeli sesuai dengan keinginannya.
Mekanisme tersebut sering dilakukan juga dalam kesepakatan jual beli yang dilakukan dalam forum seperti Kaskus. Belasan tahun yang lalu Kaskus cukup ngetren untuk melakukan aktivitas jual beli.
Di Kaskus pembeli bisa langsung menghubungi penjual yang memiliki lapak untuk menanyakan informasi terkait barang yang dijual. Nah COD bisa menjadi alternatif transaksi jika si pembeli khawatir ditipu.
Pembeli dan penjual akhirnya bertemu di lokasi yang disepakati, semacam kopdar. Saat bertemu itulah pembeli bisa mengecek langsung barang yang mau dibeli. Jika ada kejanggalan pembeli bisa bertanya langsung ke penjual di tempat lokasi COD.
"Kaskus kan hanya buyer dan seller, jadi nggak ada kurir, yang berlaku jadi kurir si seller. Kalau seperti itu rantainya lebih pendek, ya biasanya lebih mudah menyelesaikannya," terangnya.
Nah menurut Yuswohady yang membuat COD belakangan sering menimbulkan masalah adalah karena rantai dalam mekanisme tersebut bertambah panjang. Yuswohady melihat setidaknya ada 4 pihak yang terlibat dalam transaksi menggunakan sistem COD di e-commerce saat ini.
"Jadi ini karena ada berbagai pihak yang terlibat, pertama seller, kedua buyer, ketiga platform atau ecommerce, keempat logistik partner atau kurir. Dan masing-masing itu punya kepentingannya masing-masing," tuturnya.
Menurut Yuswohady penggunaan mekanisme COD dalam bertransaksi tidak menimbulkan gesekan karena pihak yang terlibat hanya pembeli dan penjual. Sehingga ketika barang yang diterima tidak sesuai, pembeli bisa mengkonfirmasi langsung ke penjual saat bertemu.
Nah untuk sistem COD di marketplace saat ini melibatkan perusahaan logistik sebagai kurir untuk mengantar barangnya. Sementara kurir hanya bertugas untuk mengirim barang tersebut dan memastikan paketnya tidak rusak.
lanjutkan membaca ke halaman selanjutnya
Oleh karena itu, menurutnya dibutuhkan pihak di luar 4 pihak tersebut untuk membuat aturan baku yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. Baik kepentingan marketplace, penjual, kurir maupun haknya pembeli.
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Bima Laga menjelaskan, memang dalam sistem COD pembeli diharuskan melakukan pembayaran setelah barang diterima. Pihak kurir hanya memastikan bahwa packing barang tidak rusak hingga ke tangan pembeli.
"Jadi selama packaging luarnya memang masih rapi karena sudah bisa dipastikan kurir tidak melakukan apapun, tidak menyentuh bagian dalamnya, itu tetap harus dilakukan pembayaran," tuturnya.
Menurut Bima hal yang membuat mekanisme COD belakangan ini sering menimbulkan masalah ada beberapa kemungkinan. Pertama pembeli belum familiar dan mengetahui seluk-beluk marketplace.
Sebab seharusnya sebelum membeli barang di marketplace pastikan terlebih dahulu barang yang ada difoto dengan deskripsi di bawahnya. Pastikan deskripsinya sesuai dengan yang diinginkan.
"Kadang foto sama detil barangnya berbeda, jadi pastikan foto dan detailnya sama," ucapnya.
Lalu seharusnya dipastikan rating dari toko online tersebut. Rating ini bisa menjadi acuan sebab rating tersebut diberikan oleh pembeli yang sudah pernah beli di toko itu.
Kemudian cek komentar di kolom review. Hal itu bisa membantu mengetahui pengalaman para pembeli sebelumnya di toko tersebut. Nah jika deskripsi, rating dan review toko itu buruk maka lebih baik dihindari.
"Nah sekarang pertanyaannya, apakah itu dilakukan sama ibu itu? Apa ibu itu hanya melihat oh harganya murah, tapi tidak lihat spesifikasinya. Bisa jadi barangnya memang tidak sesuai dengan yang dia minta. Tapi bisa jadi juga memang sebenarnya sesuai, karena sesuai yang dijelaskan di detail produk, tapi ibu itu skip," tukasnya.
Ketika barang yang diterima ternyata tidak sesuai, Bima menegaskan bahwa ada mekanisme yang bisa dilakukan. Caranya dengan tidak mengkonfirmasi pesanan telah selesai, atau di beberapa aplikasi e-commerce biasanya ada pilihan bahwa barang itu tidak sesuai.
Setelah itu dilakukan, maka pihak e-commerce tidak akan mengirim uang dari pembeli itu ke penjual. Lalu pembeli dan penjual diharuskan berdiskusi untuk menentukan jalan keluar yang disepakati bersama.
"Jadi itu harus dilakukan dan yang dilakukan dengan marah-marah ke kurir itu sebenarnya salah. Karena kurir tidak punya tanggung jawab terhadap kesesuaian barang, bahkan dia sendiri tidak tahu isinya apa," katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan mengatakan terlepas dari fenomena yang viral belakangan ini e-commerce memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu pemerintah sudah membuat aturan agar mengantisipasi kemungkinan masalah yang muncul di kemudian hari.
"Dan ini kalau kita biarkan berkembang dengan sendirinya menimbulkan berbagai permasalahan salah satunya permasalahan COD itu. Sehingga di sini kami dari Kemendag sudah sejak lama ada PP 80 tahun 2019 dan ada Permendag 50 tahun 2020," ucapnya.
Oke mengakui saat itu pemerintah terburu-buru membuat aturan tersebut. Tujuannya akan mengakomodir perkembangan e-commerce yang begitu cepat. Tujuan utamanya adalah melindungi hak konsumen.
"Intinya yang kedua adalah keseimbangan antara offline dan online. Intinya lagi yang ketiga harus ada pola penyelesaian sengketa. Sengketa dalam arti apapun, marketplace, pedagang, kewajibannya apa di situ, diatur. Sekarang Permendag ini sedang disempurnakan," ucapnya.