Heboh Wacana 'Tax Amnesty' Jilid II, Ini Plus Minusnya

Heboh Wacana 'Tax Amnesty' Jilid II, Ini Plus Minusnya

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Kamis, 27 Mei 2021 18:45 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Rencana tax amnesty jilid II akan segera dibahas di parlemen. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal mengungkapkan yang dibahas antara lain Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan Tata Cara Perpajakan.

Kemudian Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut saat ini sebaiknya menunggu DPR RI setelah paripurna untuk persetujuan pembahasan RUU KUP.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan jika istilah tax amnesty kurang tepat dan lebih cocok ke pengampunan pajak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut dia jika menggunakan istilah tax amnesty dikhawatirkan salah persepsi ke program 2016-2017. Padahal program pengampunan pajak itu ada banyak dari sunset policy, reinventing policy, amnesti pajak sampai program PAS-Final yang sampai saat ini masih berlaku.

"Kita gunakan istilah pengampunan pajak yang lebih netral saja," kata dia saat dihubungi detikcom, Kamis (27/5/2021).

ADVERTISEMENT

Dia menjelaskan ada dua sisi dari penerapan kebijakan ini. Dari sisi positif program pengampunan pajak memang dikenal sebagai cara ampuh untuk memobilisasi penerimaan pajak dalam waktu cepat dan dengan effort yang minim.

Selanjutnya program ini biasanya dilakukan ketika kondisi keuangan negara sedang tidak sehat, seperti 2008 setelah krisis keuangan global. Setelah pandemi, defisit anggaran terus membengkak, oleh karena itu dibutuhkan solusi jangka pendek namun mampu memobilisasi penerimaan yang cukup banyak.

Kemudian sisi negatifnya memang terdapat isu keadilan. Terutama bagi wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty 2016-2017. Namun masalah ini dapat diatasi melalui desain kebijakan.

"Program pengampunan yang akan dijalankan nanti harus dikenakan tarif yang lebih besar dibandingkan tax amnesty 2016-7. Selain itu, ada kewajiban tambahan yang perlu diberikan bagi WP yang ingin mengikuti program ini," ujar dia.

Menurut dia kebijakan ini akan menemui tantangan besar. Misalnya kebijakan ini pasti tidak populis. "Kita akui, kebijakan pengampunan pajak untuk memobilisasi penerimaan pasca pandemi adalah sebuah kebijakan yang terlalu pragmatis. Tentu, halangan terbesar adalah dari segi politik," jelas dia.

(kil/ara)

Hide Ads