Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI menyiapkan model dan peta pengembangan kampung ikan. Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP, Syarief Widjaja mengatakan model tersebut bisa dijadikan pedoman untuk mendukung 3 program terobosan Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono periode 2021-2024, utamanya terkait upaya membangun kampung-kampung perikanan budidaya air tawar, payau dan laut.
"Bagaimana mengembangkan kampung budidaya yang berbasis kearifan lokal. Kita fokus bagaimana membangun ketahanan pangan untuk keluarga. Dengan memanfaatkan komunitas di sekitar, kita mengangkat sektor perikanan untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga," ujarnya di acara Beda Buku 'Model Pengembangan Kampung Ikan dalam Mendukung Kesejahteraan Masyarakat di Pedesaan' di Jakarta, Selasa (15/6/2021).
"Tahun ini kami punya tugas setiap kebijakan harus berbasis kajian saintifik. Istilahnya science based policy. Sehingga kami punya tugas membuat landasan pemikiran secara saintifik apakah kebijakan turunan dari 3 kebijakan tadi didukung hasil kajian," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Syarif program kampung ikan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi dari hulu ke hilir. Dengan begitu diharapkan bisa membentuk kemandirian serta mendorong kesejahteraan masyarakat setempat.
"Jadi tidak membudidaya sebanyak-banyaknya, tapi di kampung ini dibagi. Siapa yang kerja bagian pakan, siapa yang kerja bagian bibit, siapa yang kerja bagian vaksin. Jadi merupakan sebuah kesatuan. Kalau pakannya tidak ada, selesai dia. Jadi terintegrasi," jelasnya.
Kepala Pusat Riset Perikanan KKP, Yayan Hikmayani menambahkan program kampung ikan yang diusung KKP berfokus pada kawasan dan mengedepankan kearifan lokal masyarakat.
"Artinya masyarakat seperti apa maunya. Jadi bottom up. Kemudian mengangkat nilai-nilai kearifan lokal. Ini penting karena nilai budaya, cara, praktek budidaya masyarakat lokal memberi dampak positif ke keberlangsungan budidaya," katanya.
Berdasarkan hasil kajian, Yayan menyebut terdapat sejumlah aspek yang harus diperhatikan untuk membangun sebuah kampung ikan di desa-desa. Beberapa di antaranya, aspek sosial-ekonomi masyarakat, serta aspek sumber daya manusia (SDM).
"SDM di lokasi menjadi penting. Apa yang diproduksi, jenis ikannya apa. Kemudian pasar. Teknologi existing yang digunakan, (apakah) tradisional, semi intensif. Kemudian kelembagaan dalam mengelola usaha seperti apa," tandasnya.
Yayan berharap melalui pengembangan kampung ikan dapat meningkatkan pengetahuan dan membuka akses masyarakat. Utamanya akses terhadap informasi dan pasar. Mengingat peranan desa sebagai ujung tombak pembangunan Indonesia.
"Jika kita menempatkan desa sebagai fokus pembangunan khususnya di bidang perikanan nanti dampaknya akan menjalar. Pertama, dampak positif terhadap desa, meliputi masyarakat dan pemerintahan. Serta kemudian ke tingkat yang lebih tinggi, sampai produknya ekspor, tentu ini menjadi sumber devisa negara," katanya.
Apalagi keterbatasan akses ini masih menjadi isu pembangunan perikanan di desa yang perlu diperhatikan. "Teknologinya yang masih tradisional, kebanyakan masih untuk pemenuhan kebutuhan sendiri, kemudian serapan tenaga kerja masih terbatas. Tidak kontinu. Terbatasnya akses juga ke teknologi. Kemudian belum terintegrasi hulu-hilir, sehingga ada ketergantungan. Dan keterbatasan akses pasar," jelasnya.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Balai Riset Budidaya Ikan Hias (BRBIH), Agus Cahyadi. Menurut Agus masyarakat juga perlu memahami peta pengembangan kampung ikan secara luas, bukan hanya melihat dari produk akhirnya saja. Padahal, melalui pemahaman khususnya terkait standar layout bisa turut mendorong kemajuan kampung ikan dan kampung wisata.
"Misalnya kalau di pantai nanti ada rob, bisa mengganggu flexibility dan loss bisnis menjadi besar. Lewat (peta) ini kita standarkan dulu. Jadi ada gunung sebagai vegetasi yang memberikan kontribusi air. Lalu ada sungai, lalu ada ikan, lalu sawah. Dari situ nanti terbentuk konten, konten perbenihan, konten pendederan," paparnya.
Dia pun memberikan gambaran contoh lokasi konservasi di Malaysia. Menurutnya dengan tata letak kampung yang baik, bentang alam di sekitar bisa dioptimalkan sehingga memberikan nilai tambah produk.
"Ada 1 lokasi di Malaysia, 1 bentang alam dikonservasi tetapi hanya bisa masuk 2 ikan. Untuk memperlihatkan organik atau nggak itu berdasarkan konservasi, bukan varietas. Vegetasi primer menjadi sesuatu. Ketika proses air baik, pembenihan ikan yang baik, dan (pemberian) pakan yang baik," katanya.
"Seperti halnya madu hutan, dan madu buatan. Madu hutan masih mahal, karena yang dijual udara segarnya. Ada 3 kan. Itu kalau baik untuk kesehatan itu yang dihitung. Kita pun sama," imbuhnya.
Begitu pun dengan tata letak atau layout untuk kampung wisata, yang mendayagunakan bentang alam sesuai dengan konteks tematik konservatif.
"Kalau wisata apa yang akan dijadikan konservasi, mungkin ada empang, situ. Dibawa dengan berbasis kearifan lokal. Kemudian ada lahan yang dikhususkan untuk kegiatan daerah. Ini yang menunjukkan kampung ini tidak hanya sebagai ultimate product, tapi banyak konten yang bisa dimasukan," pungkasnya.
(prf/hns)