Desakan Jakarta Lockdown dan Dampak Ngerinya ke Ekonomi RI

Desakan Jakarta Lockdown dan Dampak Ngerinya ke Ekonomi RI

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Selasa, 22 Jun 2021 06:15 WIB
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan instruksi dan seruan terkait Natal dan tahun baru di Jakarta. Anies menyerukan agar perkantoran menerapkan kegiatan operasional maksimal pukul 19.00 WIB dengan kapasitas maksimal 50 persen.
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Desakan Jakarta lockdown mulai mengemuka seiring dengan melonjaknya kasus COVID-19. Kasus Corona di DKI Jakarta lagi-lagi memecahkan rekor, kasus Corona harian di Ibu Kota menembus 5.582 kasus pada 20 Juni 2021.

Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal secara instan lockdown akan membatasi mobilitas publik. Otomatis dampaknya bisa menimbulkan kontraksi ekonomi.

Dampaknya paling berasa adalah masyarakat yang bekerja di sektor informal. Kemungkinan mereka akan kehilangan pekerjaan sekaligus pendapatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau lockdown diberlakukan, mobilitas dibatasi akan berdampak terhadap kontraksi ekonomi. Khususnya masyarakat kalangan menengah bawah, apalagi yang bekerja di sektor informal, mereka akan terkena dampak paling besar," ungkap Faisal kepada detikcom, Senin (21/6/2021).

Secara makro, jelas kontraksi ekonomi akan menghampiri Indonesia bila lockdown dilakukan. Faisal menjabarkan, untuk kuartal II hingga bulan ini, kemungkinan ekonomi akan di rentang positif, melihat perkembangan konsumsi yang memang terjadi sejak awal tahun.

ADVERTISEMENT

Namun, bila Jakarta lockdown dilakukan sekarang, kemungkinan ekonomi kuartal III, tepatnya di bulan Juli-September akan kembali negatif pertumbuhannya.

"Kalau kita asumsikan lockdown dilakukan meluas selama satu kuartal, misalnya di kuartal III, dari Juli sampai September. Maka ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi di kuartal III akan kembali negatif," ungkap Faisal.

Secara mikro, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan selama lockdown semua sektor ekonomi yang bertumpu pada pergerakan manusia akan anjlok. Misalnya toko ritel, transportasi, hotel, hingga restoran. Dia memastikan sektor ini akan turun tajam omzetnya.

Kemudian, ada juga sektor yang bertumbuh pesat, misalnya e-commerce, jasa pesan antar, hingga bisnis logistik. Masyarakat akan bergeser pola konsumsinya.

"Bisnis yang menunjang kebutuhan selama di rumah saja atau WFH itu yang tumbuhnya cepat," kata Bhima kepada detikcom.

Menurutnya, pertumbuhan ataupun anjloknya ekonomi tidak imbang dirasakan semua sektor. "Memang jadi tidak imbang ya, ada yang rugi sekali," katanya.

Simak Video: Jokowi Minta Isolasi Pasien COVID-19 Tersebar di Kecamatan-Kelurahan

[Gambas:Video 20detik]



Di sisi lain, Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B. Hirawan mengatakan, kontribusi pertumbuhan ekonomi paling banyak dihasilkan dari tingkat konsumsi rumah tangga. Jika lockdown diberlakukan, maka ada kemungkinan pada kuartal III-2021 ekonomi akan kembali minus dan Indonesia akan kehilangan momentum pemulihan ekonomi.

"Kalo ada lockdown proses pemulihan ekonomi akan terhenti dan momentumnya akan hilang. Karena harusnya triwulan kedua kita sudah positif, karena kemarin kan baru minus 0,74 persen di triwulan pertama, dampak lockdown itu akan sebulan dua bulan ke depan, ya nanti triwulan ketiga kita takut kembali minus, seperti rollercoaster menurut saya, dan itu berbahaya dari sisi stabilitas pertumbuhan ekonomi," kata Fajar kepada detikcom.

Meski begitu, ekonom menilai Indonesia harus melakukan lockdown sekarang juga. Mengapa?

Kembali ke Bhima, dia mengatakan lockdown mesti dilakukan meski berdampak ngeri ke ekonomi Indonesia. Menurutnya sekali lockdown dilakukan secara efektif dan teratur ekonomi Indonesia akan tumbuh solid.

Sejauh ini tanpa lockdown memang ekonomi meningkat, ditandai dengan kepercayaan konsumen yang pulih. Namun, bukan tidak mungkin kepercayaan konsumen untuk belanja kembali anjlok bila melihat lonjakan kasus COVID-19 akhir-akhir ini.

"Sekali lockdown efektif maka ekonomi akan tumbuh solid, tidak semu seperti sekarang. Seakan tingkat kepercayaan konsumen naik, tapi setelah ledakan kasus COVID-19 berisiko turun lagi. Kita jangan sampai mengulang lagi di titik nol," ungkap Bhima.

Ekonomi jelas akan terkontraksi bila lockdown diberlakukan. Bhima menjelaskan bila mengambil pengalaman dari China, kontraksi ekonomi hanya berjalan sebentar, usai lockdown ekonomi bergairah kembali.

Dia menjabarkan, di negeri tirai bambu, saat lockdown dilakukan awal tahun lalu, ekonomi China di kuartal I-2020 anjlok dan minus 6,8%. Namun, kuartal berikutnya ekonominya melesat dan tumbuh positif ke 3,2%.

"Kita tidak boleh ragu menyelamatkan kesehatan sebagai prioritas karena yang diuntungkan adalah ekonomi juga," kata Bhima.

Menurutnya, dari sisi anggaran pemerintah mampu menutup 'kerugian' yang terjadi karena lockdown. Apalagi, defisit anggaran sudah diperlebar demi menangani COVID-19. Yang perlu dilakukan adalah memfokuskan semua ke belanja kesehatan dan perlindungan sosial.

"Pemerintah setop dulu semua belanja infrastruktur, perlu ada realokasi ekstrim selama masa lockdown. Belanja-belanja yang sifatnya tidak urgen seperti belanja perjalanan dinas work from Bali itu batalkan segera," kata Bhima.


Hide Ads