Tarifnya Mau Naik, Begini Sejarah Perparkiran di Jakarta

Tarifnya Mau Naik, Begini Sejarah Perparkiran di Jakarta

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Minggu, 27 Jun 2021 07:30 WIB
Pemprov DKI Jakarta akan menaikkan tarif parkir kendaraan bermotor tahun ini. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak ingin rencana itu ditunda-tunda.
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Tarif parkir kendaraan bermotor baik mobil dan motor di Jakarta mau dinaikkan. Saat ini Dinas Perhubungan DKI Jakarta sedang mengkaji hal ini. Tarif akan dinaikkan demi menekan penggunaan kendaraan pribadi yang membuat Jakarta macet.

Tarif parkir akan dinaikkan secara signifikan. Misalnya saja, tarif parkir mobil yang awalnya maksimal Rp 12 ribu per jam akan naik hingga Rp 60 ribu per jam untuk on street Kawasan Pengendali Parkir (KPP) yang dikelola Pemprov DKI Jakarta.

Bicara soal tarif parkir, pengaturan perparkiran di Jakarta sendiri punya kisah yang panjang. Berdasarkan penelusuran detikcom dari berbagai sumber, aturan parkir sudah muncul sejak awal 1950-an.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu kendaraan berkumpul di kawasan Jakarta pusat, di mana berbagai gedung-gedung peninggalan perusahaan Belanda berubah menjadi pusat perkantoran dan bisnis untuk orang Indonesia. Kegiatan parkir pada masa itu dikenal sebagai pekerjaan jaga otto, dahulu banyak kendaraan khususnya mobil disebut dengan otto.

Pengelolaan parkir pada masa itu masih sebatas di beberapa pusat kegiatan kota. Khususnya, berdekatan dengan wilayah-wilayah tempat tinggal orang-orang Belanda dan China.

ADVERTISEMENT

Maklum, saat itu individu yang memiliki kendaraan bermotor dan non motor di Jakarta masih sedikit dan terbatas hanya dari kalangan kedua suku bangsa tersebut. Kawasan-kawasan yang biasa memiliki parkir sangat terbatas, hanya sekitaran daerah Pasar Baru, Jakarta Kota, Harmoni, Glodok, Thamrin, dan Sudirman.

Pembangunan pun terus berjalan di Jakarta. Kawasan-kawasan baru banyak dibuka. Sentra bisnis baru pun bermunculan. Ekonomi bertumbuh, maka banyak juga kendaraan yang lalu lalang. Hal ini membuat masalah perparkiran jadi utama.

Hingga akhir 1950-an layanan parkir secara swadaya oleh individu atau kelompok masyarakat bermunculan di Jakarta. Masyarakat mulai melek, ternyata bisnis mengelola parkir cukup menjanjikan juga keuntungannya.

Sejak saat itu bermunculan lah beberapa kelompok yang mengelola parkir, mereka bagaikan berbagi tempat. Satu kawasan 'dipegang' satu kelompok. Misalnya saja di daerah Kebayoran Baru dan sekitar Blok M, Jakarta Selatan. Lokasi parkir di sana dikuasi oleh kelompok Surabaya, disebutkan pimpinan kelompok itu bernama Sugiman.

Begitu pula dengan daerah Pasar Baru, lokasi parkir di sana dikuasi oleh kelompok masyarakat Betawi di bawah koordinasi Samid Kicau. Sementara itu, di Glodok yang merupakan wilayah perdagangan dikuasai oleh kelompok Banten, diketuai kelompok ini dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama Animuar.

Lanjutkan membaca ke halaman berikutnya

Selain Glodok, wilayah lainnya seperti Jakarta Kota juga dikelola oleh seorang jawara bernama Nurmansyah. Konon katanya dia memiliki banyak anak buah sebagai pelaksana di lapangan.

Jakarta pun berkembang dari tahun ke tahun, hal itu diiringi dengan bertumbuhnya pengguna kendaraan bermotor. Sekitar tahun 1970-an, saat itu Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin, masa ini jadi tonggak masuknya pemerintah daerah untuk mengurus perparkiran di Jakarta.

Ali Sadikin melihat peningkatan frekuensi dan volume lalu lintas yang banyak, nampaknya hal ini akan memunculkan kebutuhan akan tempat parkir. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pihaknya saat itu.

Tantangannya adalah bagaimana mengelola perparkiran agar lalu lintas kota tetap elok dipandang dan lancar. Satu sisinya lagi, ada peluang memperoleh keuntungan finansial dari perparkiran untuk mendukung pembangunan kota yang sedang berkembang-kembangnya saat itu.

Ide pertama muncul untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah kotamadya untuk mengatur perparkirannya sendiri, hal itu terjadi sekitar awal 1970-an. Kebanyakan, wali kota di Jakarta saat itu hanya berkerja sama saja dengan masyarakat yang sudah duluan mengelola parkir, kala itu disebutnya teknik borongan.

Kali ini pemerintah kota ikut sedikit mengarahkan pengelolaannya, membuat tempat parkir khusus, plus meminta keuntungan dari kelolaan parkir dibagi dua. Setengah buat pengelola dari masyarakat, sisanya masuk kantong pemerintah kota.

Hasil dari pengelolaan oleh para pemborong itu pun berhasil, parkiran tertata dan bisa juga menambah pemasukan bagi kas kotamadya Jakarta Pusat. Setidaknya ada uang Rp 250.000 per bulan yang masuk kas.

Tak lama berselang, gebrakan baru muncul tepat di tahun 1972, pemerintah provinsi Jakarta membentuk PT Parkir Jaya yang jadi pengelola tunggal perparkiran di Jakarta.

Namun, usaha pengelolaan ini hanya bertahan lima tahun lantaran PT Parkir Jaya tidak mampu memecahkan tetek-bengek prosedur parkir. Gubernur Ali Sadikin pun cari pemecahan lain urusan parkir ini.

Dia membentuk Otorita Pengelolaan Parkir Pemerintah DKI Jakarta pada 1977. Wilayah Blok M dan Kebayoran Baru jadi garapan percontohan pertama. Belakangan lembaga ini juga dibubarkan karena tidak mencapai target pendapatan.

Namun, setelah lembaga itu dibentuk, perusahaan swasta ikut merambah usaha parkir. Sebab kendaraan bertambah tanpa batas sementara kemampuan Pemda Jakarta untuk mengelola parkir terbatas.

Kini, lembaga pengelola parkir di Jakarta bernama Unit Pengelola (UP) Perparkiran yang menjadi salah satu bagian dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Lembaga ini menetapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum daerah (PPK-BLUD).



Simak Video "Video: Viral Wanita Digetok Tarif Parkir Rp 60 Ribu di Tanah Abang, Ini Kata Kadishub"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads