Pengelolaan utang pemerintah dapat sorotan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pemerintah dikhawatirkan tidak bisa lagi membayar utang yang terus menumpuk.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menilai utang dan biaya bunganya yang semakin tinggi dapat mempengaruhi kemampuan bayar pemerintah di kemudian hari.
"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara. Sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," kata Agung dalam acara Penyampaian LHP LKPP, IHPS II dan LHP Tahun 2020 seperti disiarkan lewat Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (25/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian Keuangan sendiri mencatat utang pemerintah pada akhir bulan Mei 2021 sebesar Rp 6.418 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 40,49%. Jumlahnya naik secara year on year, namun turun dari bulan April.
Lalu dari mana saja utang-utang ini berasal?
Secara rinci, jumlah utang pemerintah didapatkan paling banyak dari Surat Berharga Negara (SBN). Dikutip dari laporan APBN Kita Juni 2021 jumlahnya mencapai Rp 5.580,02 triliun atau 86,94% dari seluruh utang.
SBN terdiri dari surat utang negara dan surat berharga syariah negara. Rincinya, utang SBN dalam negeri ada sebanyak Rp 4.353,56 triliun dan utang SBN valuta asing (valas) sebesar Rp 1.226,45 triliun.
Kemudian, utang juga didapatkan dari pinjaman pemerintah dengan jumlah Rp 838,13 triliun atau sekitar 13,06% dari seluruh utang.
Pinjaman-pinjaman itu terbagi atas pinjaman dalam negeri sebanyak Rp 12,32 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 825,81 triliun.
Bila dirinci, pinjaman luar negeri yang bersifat bilateral ada Rp 316,83 triliun, multilateral Rp 465,52 triliun, dan pinjaman dari commercial banks sebesar Rp 43,46 triliun.
(acd/dna)