Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mempertanyakan pernyataan Presiden Jokowi terkait dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap kondisi pengelolaan utang luar negeri milik Indonesia. Per April 2021 saja, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah telah mencapai Rp 6.527,29 triliun atau 41,18% terhadap PDB.
Hal tersebut membuat BPK khawatir terhadap kemampuan Indonesia membayar utang dan bunga. Penilaian BPK terhadap tren penambahan utang pemerintah yang jumlahnya semakin membengkak dan berpotensi gagal bayar.
Sebagai lembaga Audit Pemerintah, lanjut Syarief, seharusnya rekomendasi BPK tersebut menjadi pertimbangan Pemerintah ke depan. Ia menilai pernyataan Presiden Jokowi tidak mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia yang hari ini sedang lesu, bahkan cenderung memburuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ekonomi masih berada di bawah minus dan masih resesi, ditambah utang luar negeri yang terus membengkak, tetapi Pemerintah malah menganggapnya sebagai kondisi yang aman," ungkap Syarief, dalam keterangannya, Minggu (27/6/2021).
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menyebutkan, pengelolaan keuangan negara pada Kuartal II-2021 semakin memprihatinkan. Ia juga mengingatkan pemerintah terkait kondisi keuangan dan PDB Indonesia yang sangat timpang dengan utang luar negeri.
"Tren pertumbuhan utang luar negeri ditambah bunga utang, jauh melampaui tren pertumbuhan Produk Domestik Bruto dan penerimaan negara sehingga sangat berbahaya terhadap Indonesia," ungkap Syarief Hasan.
Syarief Hasan juga menyebut, rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hampir mencapai 42% dan mendekati batas maksimal yang disebutkan di dalam UU Keuangan Negara.
"Tahun lalu, rasionya masih 37%, lalu merangkak 38,5%, dan kini telah mencapai 41,64%. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang Indonesia sangat buruk, tetapi Pemerintah malah menganggapnya aman saja," ungkap Syarief Hasan.
Syarief Hasan juga mengingatkan Pemerintah untuk memperhatikan rekomendasi BPK RI dan IMF sebagai lembaga yang kompeten dalam urusan keuangan.
"Indikator kerentanan utang tahun 2020 Indonesia berasal dari hasil kajian BPK yang menyebut melampaui batas rekomendasi International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR)," jelasnya.
Sebagai lembaga Audit Kementerian/ lembaga RI yang dibentuk berdasarkan Undang-undang, maka seharusnya semua pendapat BPK didengar dan dilaksanakan. Utang seharusnya menjadi prioritas Pemerintah untuk dikelola dengan baik.
"Pemerintah harus mengelola ekonomi dengan baik. Pemerintah harus fokus menyelesaikan masalah COVID-19 yang semakin memprihatinkan lebih utama diatasi sembari menguatkan perekonomian nasional yang hari ini masih resesi," tutup Syarief.
(akn/hns)