3 Fakta Utang RI yang Lagi Diwanti-wanti Sama BPK

3 Fakta Utang RI yang Lagi Diwanti-wanti Sama BPK

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 28 Jun 2021 18:00 WIB
UN Swissindo
Foto: Tim Infografis, Andhika Akbarayansyah
Jakarta -

Utang Indonesia saat ini disebut mengkhawatirkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya, audit BPK menyebutkan biaya bunga yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan bayar negara nantinya.

Memang Indonesia masih mengandalkan utang sebagai salah satu sumber pembiayaan yang dipilih oleh pemerintah.

Jumlah utang Indonesia per Mei 2021 mencapai Rp 6.418,5 triliun dengan rasio mencapai 40,49% dari produk domestik bruto (PDB).

Berikut fakta-faktanya:

Jumlah Utang Luar Negeri

Dikutip dari Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi Juni 2021 ada 21 daftar negara yang memberi utang ke Indonesia. Seperti Singapura, Amerika Serikat (AS) hingga Jepang. ULN Indonesia saat ini tercatat US$ 418 miliar atau sekitar Rp 5.935 triliun.

Rasio Utang Rendah di Era SBY

Memasuki pemerintahan SBY periode 2004-2014, nilai utang mencapai Rp 2.608 triliun. Walau nilai utang meningkat dua kali libat, namun nilai PDB saat itu juga mengalami peningkatan yang lebih tinggi.

PDB era itu mencapai Rp 10.542 triliun atau meningkat berkali-kali lipat dibanding era sebelumnya. Dengan begitu, rasio utang juga hanya sekitar 24,7% terhadap PDB. Rasio utang itu tercatat jadi yang paling rendah hingga saat ini.

Alasan Negara Berutang

Dikutip dari laman resmi kemenkeu.go.id disebutkan alasan negara menarik utang karena masih adanya infrastruktur yang tertinggal. Serta masalah konektivitas dan menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi dan harus ditanggung oleh masyarakat.

"Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi," tulis kemenkeu.go.id di bagian Menjawab Utang, dikutip Senin (28/6/2021).

Kemudian pemerintah juga mengambil kebijakan fiskal ekspansif. Di mana belanja negara lebih besar dari pendapatan negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh.

(kil/eds)

Hide Ads